Cerita Sex ini berjudul “Cerita Sex Dina Dan Yang Lainnya” Cerita Dewasa,Cerita Hot,Cerita Sex Panas,Cerita Sex Bokep,Kisah Seks,Kisah Mesum,Cerita Sex Tante,Cerita Sex Sedarah,Cerita Sex Janda,Jilbab,Terbaru 2020.
Ceritasexindo – Dina adalah seorang gadis yang baru meranjak gede, yang baru duduk di bangku lima SD, yang harusnya sudah duduk di bangku satu SMP, di sebuah desa di salah satu kota di Indonesia.
Terlahir dalam tiga bersaudara dan merupakan anak bungsu yang terpaut empat tahun dengan kakak keduanya, terpaut enam tahun dengan kakak pertamanya dan merupakan satu-satunya anak gadis dalam tiga bersaudara tersebut.
Dina dibekali dengan rasa ingin tahu yang sangat besar pada apa saja yang membuat dia tertarik. Dina tumbuh seperti anak anak gadis pada umumnya, dengan buah dada yang berangsur tumbuh dan bongkahan pantat yang sedikit lebih besar dari anak gadis pada umumnya.
Dina merupakan anak dari kakak ibuku, dan enam tahun selisih umur kami. Tentunya aku yang lebih tua. Aku Ardi, anak laki-laki satu-satunya dari orangtuaku. Aku tinggal bersama orangtuaku, kami merantau ke kota lain yang jaraknya dua hari satu malam perjalanan dari tempat asalku. Kami sekeluarga hanya pulang sekali setahun, tepatnya setiap lebaran.
Oke.
Mari kita mulai kisah ini.
Hari ini, aku dan keluargaku sedang sibuk mengemasi pakaian yang akan kami bawa ke kampung halaman.
Tak lupa kami juga menyiapkan beberapa THR untuk keluarga di sana.
Aku menyiapkan sepotong dress untuk Dina dan sepatu untuknya. Aku berharap ukuran akan sesuai untuknya, sedangkan untuk saudaranya tidak dapat, karna mereka juga merantau ke kota lain.
Ya kampung halaman, tempat aku dilahirkan, tempat yang sangat indah.
Kami akan berangkat esok pagi dengan harapan bisa sampai tujuan dengan cepat.
Singkat cerita…
Akhirnya, aku sampai di kampung halamanku. Tempatnya berada di lereng bukit. Di sini hanya ada empat rumah. Dua rumah milik keluargaku yang berhadapan dengan dua rumah milik tetanggaku.
Suasana di sini agak sepi, soalnya rata-rata orang di sini pada merantau ke luar kota. Dari empat rumah itu hanya dua rumah yang terisi. Rumahku dan rumah tetanggaku masih kosong, dikarenakan mereka masih belum sampai di sini.
Kami disambut dengan hangat oleh kakak ibuku beserta suami dan tentu saja Dina anaknya, dan sepasang suami istri tetanggaku.
Kami pun bergegas menurunkan barang bawaan dari mobil dan langsung membawanya masuk ke rumahku, ya rumah yang satu tahun ini tak berpenghuni. Rumahnya tampak bersih luar maupun dalam. Ya, sepertinya selalu dibersihkan.
Setelah semuanya siap, kami sekeluarga pun berkumpul, dan mulai berbincang-bincang hangat. Oya, ibuku ini anak terakhir dari tiga bersaudara, saudara lainnya berada di rumah istrinya, yang agak jauh dari rumahku ini. Aku tidak melihat dua saudara sepupu laki-lakiku. Aku pun mulai bertanya pada Dina yang sudah di duduk di sampingku dengan manisnya. ” Dek, abang-abangmu mana?”. Dia menjawab, “Gak tau bang, kayanya mereka belum pulang, mungkin sekitar tiga hari lagi mereka baru kemari.” “Oooo”, jawabku. Adikku ini sepertinya agak kesepian, tidak ada yang bisa diajak bermain, teman-teman seumurannya hanya dijumpai saat dia bersekolah. Adikku ini, dengan rambut yang panjang, warna kulit yang hitam manis, dan bentuk tubuh seperti anak SMP umumnya. Sayang saja dia sempat tak naik kelas. Dia dari dulu selalu dekat denganku, ntahlah apa maksudnya. Orang tua kami pun mulai berpencar. Kedua ibuku mulai memasak di rumah Dina yang berada di samping rumahku. Kedua ayahku pun mulai asik berbincang sambil mengopi di teras rumahku. Tinggal kami berdua sekarang di ruangan utama ini. Si Dina mulai merebahkan kepalanya ke pundakku. Ahh, wangi sampo ini yang selalu kurindukan saat di rantau. Kepalanya berada di pundak kiriku, tangan kiriku pun merangkulnya, sambil aku mencium rambutnya, menikmati wangi rambutnya sambil sesekali tanganku mengelus perutnya. Kebetulan saat itu perutnya terlihat karena kaos yang dipakainya agak pendek. Dia hanya diam saja saat kuperlakukan seperti itu. Sekian lama aku mencium cium kepalanya, aku baru teringat kalau aku membawakan dia oleh-oleh. Kubisikkan ke telinganya dengan lembut, “Abang bawa baju plus sepatu untukm loh…”, kuakhiri dengan menggigit kupingnya dengan lembut. “Aduh”, jeritku pelan. Daguku terbentur kepalanya saat dia kaget ketika telinganya kugigit. Dia hanya tertawa dan berkata, “Mana bang bajunya?”. “Duh kok malah baju si, sakit nih”, jawabku. “Cup cup”, katanya sambil mengelus elus daguku. “Dasar, noh ada di kamar”, jawabku ketus. Tanpa berkata dia langsung kemarku untuk menemukan hadiahnya. “Dimana si bang”, teriaknya. “Itu di dalam koper di atas kasur”. “Kopernya ini kok ada angka angkanya, gimana bukanya coba”. “Hahaha”, jawabku sambil melangkah ke kamar yang ada di sudut ruangan. Kebetulan rumahku ini ada 2 kamar tidur yang bersampingan dan satu ruangan utama. Akupun duduk di samping adikku, di atas kasur dalam satu kamar dan berusaha meraih koper kecil yang berada di sampingnya. Ya, pikiranku saat itu masih bersih-bersih saja tak ada pikiran mesum sama sekali. Aku mulai memasukkan sandinya dan mengeluarkan sebuah dress warna merah yang cantik dan sepasang sepatu putih untuknya. Nampak jelas senyumnya yang sangat sangat manis saat itu. “Semoga aja muat ya”. “Iya bang”, balasnya. Kembali dia merebahkan kepalanya ke pundakku. Persis seperti posisi yang di ruangan keluarga tadi, hanya saja bedanya saat ini kami berada di satu kamar di atas tempat tidurku. Pikiran kotor pun mulai merasukiku. Sambil menciumin kepalanya, tangan kiriku pun kembali mengelusi perut mulusnya. “Ahhh wangi”, batinku. Sekian lama dalam kondisi seperti itu, sepertinya tubuh adikku ini mulai berat ke belakang. Sepertinya dia ingin rebahan, akupun berusaha agar kami tetap duduk di atas ranjang itu. “Kalau kami rebahan pasti bakalan gawat”, itulah yang kupikirkan. Lama kelamaan tanganku yang sedari tadi mengelusi perutnya mulai berjalan berjalan menyusuri pinggangnya dan mulai mengelusi pahanya yang dibalut legging hitam panjang. Dia hanya merespon dengan semakin memberat kebelakang. Entah kenapa aku mulai mengikutinya, dengan posisi tersebut aku pun ikut rebahan, otomatis tanganku terhimpit olehnya, kaki kami terjuntai dari ranjang itu. Kami hanya terdiam. Dina pun mulai bergerak, kupikir dia akan berdiri dan menyudahi ini. Ternyata dia naik ke atas tubuhku. “Aduh, mau ngapain dia”, batinku. Kepalanya berada tepat di bawah daguku. Tangan kiriku pun terbebas, dan ikut naik ke punggungnya disusul oleh tangan kananku yang ingin mengelus elus punggung adikku ini. Sepasang tanganku pun asik mengelus punggung adikku ini, di saat yang sama burungku mulai bangun dari tidurnya. “Ahh, sial bangun juga”, batinku. Burungku ini berada tepat dibawah perut adikku. Sontak saja kedua tanganku meraih pantat mungilnya lalu mulai mendorongnya ke atas. Sekali dorongan saja, sekarang kepala kami sejajar, hanya saja kepalanya di kiri kepalaku di posisi ini aku bisa mencium pipinya dan menggigit kupingnya. Dan burungku sepertinya berada di bawah vagina sejajar dengan pantatnya. Tangan kiriku mulai beraksi dengan mengelus elus rambut panjangnya dan membawa rambut panjan yang terkuncir itu ke mukaku dan langsung kembali mengelus punggungnya. Tangan kananku yang sejak tadi berada di pantat sebelah kirinya mulai meremas remas dengan lembut supaya dia tidak kaget seperti kejadian yang di luar kamar tadi. Wajah ku yang sudah dipenuhi rambutnya, mulai bergerak ke kiri memposisikan agar berada tepat di lehernya. Mulai kukecup kecup mesra. Satu kecupan dua kecupan tiga kecupan tangan kirinya mulai meremas rambutku. Terdengar “Ahh…”, darinya saat kecupan keempat yang tidak kulepaskan dari lehernya. Kecupan kelima tangannya mulai merenggang, Kecupan keenam, Kecupan ketujuh kembali tak kulepaskan dari lehernya dan tangannya kembali meremas rambutku selama aku mengecup lehernya. Kakinya pun ikut menegang. Kecupannya pun kulepaskan. Saat itu pula dia mulai mengganti posisi kepalanya ke sebelah kananku tanpa melihat wajahku, ya dia memejamkan matanya. Sekilas terlihat ada bekas kecil di leher sebelah kirinya. Kakiku yang menjuntai mulai terasa pegal, aku pun mulai menggeser-geser tubuhku semakin ke atas sehingga tubuh kami seutuhnya berada di satu ranjang ini. “Ahh, begini lebih baik”, kubisikan itu ke kupingnya. Dia hanya membenanamkan wajahnya ke kasurku. Tangan kananku mulai giat meremas mengikuti pola. Remas remas remasssssss kembali ke remas remassssssss. Saat remasssssssan panjang, adikku pun sepertinya menggoyang-goyangkan pantatnya. “Benar benar menggoda”, pikirku. Burungku pun ikut bergoyang-goyang karenanya. Tangan kiriku pun mulai membelai rambutnya dan membawanya ke wajahku. Dan wajahku pun bergerak kekanan tepat di lehernya. Kali ini tidak seperti tadi, aku langsung mengecup lama leher kanannya dan kedua tanganku meremasssss panjang kedua pantatnya serta burungku kugerak-gerakan mengikuti pantatnya yang bergoyang. “Ahhh….”, desahnya. 1 menit 2 menit 5 menit dalam keadaan tetap seperti itu. Baru kulepaskan semua gerakan itu. Kubisikan padanya “Kenapa dek?”. “Gak papa bang”, jawabnya tak terlalu terdengar karna wajahnya terbenam ke tempat tidurku. Dan kumulai merasa ada dua titik di dadaku, ya seperti ada yang menusuk lembut kanan dan kiri dadaku. “Apakah ini puting adikku?”, hatiku bertanya. Kami tetap terdiam dalam keadaan seperti itu. Hanya bibirku yang kukecup-kecupkan ke lehernya. Dan burungku yang kugerak-gerakan saat pantat adikku yang bergoyang-goyang. Seiring dua titik di dadaku yang kian lama kian terasa keras. Hanya terdengar erangan-erangan kecil dari mulut adikku. Leher kanan, balik ke leher kiri, kuping kanan balik ke kuping kiri. Begitu terus sampai ada bekas dan air liurku di sana. Saat pemindahan leher itu, mata adikku tetap terpejam. Sekian lama, kurasa adikku mulai bangkit, kupikir dia akan selesai. Ternyata… Dia sekarang menduduki burungku. Ya, menduduki burung yang setengah bangun. Otomatis burungku terasa akan bangun sepenuhnya namun tertahan karna diduduki seperti itu. Ya, kurasa adikku merasakan kebangkitan sesuatu yang didudukinya. Dia mulai memaju mundurkan posisinya. Menggesekan pantat mungilnya dengan burungku yang telah bangun sepenuhnya. “Mantap”, batinku. Dan “Ahhh…”, terdengar dari bibirnya. Kejadian itu berlangsung cepat dengan diakhiri desahan panjang adikku dan kepala yang tertunduk. “Sudah keluar ya?”, tanyaku saat pantatnya tepat di burungku dan kurasakan ada kedutan-kedutan kecil darinya. Dia tak menjawab mungkin malu, mungkin tak tahu apa yang kutanyakan, entahlah tak kupedulikan. Setelah kedutan di vaginanya selesai, kulihat wajahnya mendekati wajahku. Bibirnya mendekati bibirku. Dan mulai menempel di bibirku. Dan tesss… kemudian dia mengangkat wajahnya lagi dan kemudian menempelkannya lagi, melepaskannya lagi. “Sial gua dikerjain nih”, pikirku. Tepat sesaat dia menempelkan bibirnya lagi tanganku sudah berada di belakang kepalanya. Dan mulai menekankannya agar terus menempelin bibirku, saat bibir kami bertemu dia, berusaha untuk mengangkatnya. Aku tak membiarkannya, terus kutekankan kepalanya, aku mulai membuka mulut, ku keluarkan lidahku. Kujilati luar bibirnya. Dia hanya diam, berusaha melepaskannya. Tapi aku terlalu kuat, kujilat jilat bibirnya. Kucongkel congkel bibirnya dengan lidahku, agar bibirnya terbuka. Lama kulakukan itu. Akhirnya… lidahku masuk kemulutnya, langsung mencari lidahnya dan mengadu-adukan lidah kami. Ya hottt sekali ciuman kami itu. Tanganku kulepaskan dari kepalanya dan mulai merabai punggungnya. Meremasi pantatnya disaat bibir kami menyatu,lidah kami beradu, air liur kami bertukar. Manis rasanya…. Dan tiba-tiba dia bergerak, berdiri, turun dari ranjangku dan berjalan cepat keluar dari kamarku. Kulihat tangan kirinya melepas ikat rambutnya, tangan kanannya menghapus air liur yang ada di sekitar wajah dan lehernya. Dan menghilang dari pandanganku. Aku pun hanya terdiam dengan burung yang berdiri tegak dan kulihat jam menunjukkan angka 17:05. Aku pun memutuskan untuk tidur dan membayangkannya kembali dari dalam tidurku. Nasibbbbbb……
Dalam tidur, aku merasa badanku bergerak diiringi suara, “Bang, bangun bang. Gak mandi dulu?”, yang terdengar samar-samar. Mata ini pun tetap terpejam. Kembali tertidur…
Tak lama… “Bang, bangun bang. Udah waktunya makan malam ini…”, kembali terdengar samar-samar suara lembut nan tak asing itu. “Bang, bangun dong bang”, kembali terdengar. Mataku mulai terbuka perlahan. Terlihat samar-samar bidadari dengan rambut terurai, mengenakan dress tanpa lengan, wajah mulus tanpa noda, dan bibir merah menggoda. “Apakah ini mimpi?”, pikirku. Kembali kupejamkan mataku dan kubuka kembali. Terlihat jelas bidadari itu tak lain dan tak bukan Dina adik sepupuku. Cantik nan terlalu cantik. Duduk bersimpuh di atas kepalaku dengan dua paha mulus yang terlipat. Kuangkatkan kepalaku kupindahkan ke paha yang terlihat lembut itu. “Abang ini, dari tadi dibangunin kok susah banget. Malah pindah ke sini”, tandasnya ketus. “Hehe”, jawabku. Ku mulai bangun kupegang dagunya dengan tangan kananku. Kutempelkan bibirku pada bibirnya. “Mmmhhhh”, lenguhnya. Nafsuku yang tadi pun membara. Kususupkan tanganku dari bawah dressnya langsung menuju bukit kembarnya. Kuremas dengan lembut. “Ahhh abang, jangan”, bisiknya lembut. Tak kupedulikan, malah kuteruskan. “Mmmmhhhhhh”, dengusnya. “Wah tak pakai miniset”, pikirku. Kupilin puting kecilnya dengan jari jempol dan telunjukku, makin keras putingnya, makin keras desahnya. “Udah bang, nanti mama papa kita tau, mereka ada di luar”, katanya. Mendengar itu kuhentikan semua kegiatanku. “Serius?”, “He’emmhhhh”, jawabnya. Dengan wajah merona merah delima. Kuelus rambut terurainya, dan bilang “Kok gak dikuncir?”, “Gara-gara abang si”, balasnya. Aku tak mengerti. Kupindahkan rambutnya ke belakang pundaknya, “Wah pantas saja”, pikirku. “Ada tanda dari abang,ya?. Hehehe”. “Au ahh”, jawabnya. Kubergegas mengeluarkan alat mandiku, melangkah keluar kamarku. Melewati ayah ibu kami yang sudah duduk dengan rapi dengan hidangan yang sudah tersedia. “Kebo baru bangun”, ucap ibuku. “Iya nih”, tambah ibunya Dina. “Baru juga jam berapa…”, balasku. “Noh liat sendiri”, sambil bibir tipis ibunya Dina menunjuk jam dinding. “Busettt jam delapan lewat ucapku”, sambil berlalu ke luar rumah menuju kamar mandi. Diiringi gelak tawa mereka.
Makan malam pun kami lalui dengan hikmat. Disempatkan dengan selfi selfi ria. Tentu saja adikku ini yang paling eksis. Selalu ingin selfi dengan abangnya yang belum mandi, yang cuman gosok gigi. Mulai dengan gaya “Piss”. Sampai gaya cium pipiku. Gaya merangkulku. Gaya aku yang cium pipinya. Sempat ingin dia selfi dengan gaya mencium bibirku. Namun kutolak dengan halus. Dan berjanji akan melakukannya jika cuman ada kami berdua. Tak terasa waktu sudah menunjukan angka 21:20. Jam segini kedua ibu kami sudah ada di kamar tidur masing masing. Kedua ayah kami sedang asik ngopi pahit dan membicarakan tentang apa yang akan dilakukan besok hari di ladang. Tersisa aku dan Dina di ruangan utama, saling rangkul merangkul sambil memainkan HP. “Bang, aku ngantuk nih”. “Yaudah gih sana tidur”, balasku. “Tapi…”, jawabnya sambil memanyun-manyunkan bibirnya padaku. Aku pun mengerti. “Sebentar aja ya”, responku. Dina langsung menggenggam tanganku. Mengajakku menuju kamarku. Merangkul leherku. Akupun membalas memeluknya. Membalas ciumannya. “Aneh, kok Dina udah jago seperti ini”, pikirku. Kami berciuman dengan liar. Saling gigit menggigit lidah. Kedua tangankupun bergerak menuju bongkahan pantatnya. Meremasnya dengan gemas. Diiring deru nafsu kami berdua. Burungku pun berdiri dengan tegak. Ingin meminta sesuatu untuk dikeluarkan. Kuremas pantat adikku itu, kuadukan dengan burung tegakku, “Ahh…” ,jeritnya halus. Sepertinya tepat pada vaginya. Terus kuadukan, dia melepas ciumannya, dan melihat peristiwa adu mengadu di bawah, sambil menggigit bibirnya sendiri. Akupun kembali melahap bibirnya dengan ganas. Terasa kedutan kedutan liar ingin keluar. Aduan terakhir, kuadukan rapat-rapat. Terasa kedutan dari daerah sana. “Sepertinya kamu keluar juga ya dek?”. “He.emmhhh”, jawabnya. Kami berciuman dengan mesra. Sambil menikmati sisa sisa orgasme kami.
“Aku pulang dulu ya bang”, begitu lepasnya ciuman kami.
Akupun mulai membuka celana jeansku. Aku biasa tidur dengan hanya menggunakan celana pendek bola, tanpa celana dalam. Dan sepotong sarung yang berjaga jaga jikalau malam ini terasa dingin. Kulihat celana dalamku penuh dengan pejuku sendiri. “Mantap,” banggaku.
Jam menunjukkan jam 05:35. Kulihat lampu masih dalam keadaan mati. “Belum pada bangun rupanya”. Aku melangkah ke teras rumah. Duduk di bale yang cukup untuk tiga orang. Sambil menikmati dinginnya pagi di desa ini. Dinginnn,,,, ku menggigil. Tanpa terasa penyakit pagiku datang. Ya, si burungku berdiri tegak. Membentuk Gunung Biru di selangkanganku. Aku biarkan saja toh gak ada orang. Tak lama kulihat rumah sebelah. Rumah adikku Dina, dengan ruang utamnyanya yang sudah terang. “Sepertinya ada yang bangun”, akupun sedikit panik. Pintu rumah pun terbuka. Kulihat sesosok gadis cantik. Dengan baju tidur hello kitty pendek serasi dengan celana tidur pendek hello kittynya. Memeluk boneka hello kitty kecil, “Dasar maniak hello kitty”, batinku. Menghampiriku perlahan dengan pasti, dengan keadaan selangkanganku yang menggunung. “Untung aja gelap, jadi cuman samar-samar terlihatnya”, batinku. Tak terasa Dina sudah berada di sampingku. Kepalanya langsung menyender ke pundakku. “Dingin bang”, bisiknya sambil memeluk bonekanya. “Kalau dingin ngapain keluar?”, tanyaku. “Aku gak bisa tidur bang”, jawabnya. “Oooo”, balasku. Aku pun merebut boneka dari pelukannya, dan berusaha menutupi selangkanganku, aku tak mau dia melihatku seperti ini. “Ahh abang….”, dia berusaha merebutnya kembali. Diraih nya boneka dan ditariknya, sayangnya aku lebih kuat. Dia pun berusaha meraihnya dari belakang boneka. Ya tepat di selangkanganku yang kulindungi. “Aduh…”, jeritku. “Ehh…”, jeritnya. Terasa tangan mungil itu menyentuh burungku yang sudah keras. Dengam cepat ditariknya tangannya sendiri. “Apa itu bang?”. “Bukan apa-apa”, jawabku. “Bohong”, balasnya lagi. “Pasti itu yang dari kemarin sore dan semalam nusuk-nusuk aku, ‘kan, bang?”, tebaknya. Aku terdiam. “Ya,’ kan, bang?”, tanya memastikan. “Udah tau nanya segala”, jawabku sekenanya. “Hehehe”, tawanya. “Keras banget ya bang?”. “Iyalah, namanya juga…”, jawabku terhenti. “Namanya apa bang?”, tanyanya. “Kontol”, jawabku tak sengaja. “Ohh tongkol, ehh itu maksudku. Abang ngomongnya jorok, ya…”, katanya. “Maaf gak sengaja”, kataku. “Boleh pegang gak bang?”. “Ogah”, jawabku. “Dasar pelit”, katanya. Dengan cepat tangannya berpindah ke burungku. “Happp ketangkep, hehehe”, tawanya terkekeh. Tanganku yang terpaku pada bonekanya tak dapat mencegahnya. “Ohh. Ini yang namanya tongkol ya, eh itu ya…”. Aku pun diam keenakan. Tangan mungilnya meremas remas burungku. “Abang gak make cd ya?”. “Besar banget kayaknya ya bang”. “Panas banget lagi”, tuturnya cerewet sambil terus meremas remas burungku. Dari bawah sampai atas diremas semua. Akupun keenakan. Dan mendesah pelan agak tak terdengar olehnya. Dia semakin keras meremasnya. “Jangan keras keras dong!”, pekikku. “Hehehe”, balasnya. Jari telunjuknya bermain main di ujung burungku. Benar-benar enak rasanya. Diremas seperti ini, di pagi ini, oleh adik sepupuku sendiri. Kulihat mata adikku terpaku pada burungku. Wajahnya memerah merona. Deru nafasnya terdengar. “Sial, dikerjain gua”, batinku. Tak terasa, jemarinya berhenti dan berusaha masuk ke celana bola biruku, jemarinya bermain di bulu-bulu hitam lebat burungku. “Ihh abang bulunya udah panjang panjang ya…”. Aku terdiam. Setelah puas bermain di taman bulu itu lima jari itu berusaha menggapai pangkal burungku. Tangan kiriku menahan tangannya. “Jangan”, bisikku. Tangannya pun kembali keluar celanaku. Dan kembali meremas burungku dari luar. Bibirnya pun mulai melakukan aksinya mendekati bibir. Kami berciuman lagi. Ya lagi. Tangan-tanganku pun ikut bermain. Yang kanan meremas lembut bukit kanannya. Yang kiri menyusuri pahanya mencari tempat yang semua orang inginkan pada gadis muda. Terus meremas bukit, dan hap… ketemu apa yang dicari. Tapi sayangnya kaki adik sepupuku ini malah merapat. Kupilin puting kecil yang sudah sangat keras, dan ahhh… Bibir kami terlepas. “Jangan digituin susu akunya bang. Geliiii”, rintihnya. “Makanya buka pahamu itu”, kataku. Perlahan pahanya terbuka, tangan kiriku pun masuk dan hap… ketemu. Tangan kiri kupun terjepit pahanya. Tapi jari jemarinya tetap bergerak. “Ahhh ahhh…”, jeritnya. Sial bisa-bisa semua pada bangun ini. “Sstttt. Jangan keras-keras”, bisikku. Aku lahap bibirnya… Suara rintihannya mulai hilang. Tangan adikku mulai mengocok. Ya mengocok entah ilham dari mana yang dia dapat. Tangan kananku masih asik memilin putingnya ingin sekali kuhisap dan kugigit puting itu. Apalah daya. Tangan kiri masih menari di vaginanya dibalik celana hello kittynya, yang dilapisi CD nya. Sepertinya sudah sangat lembab.. Bibir kami terlepas kembali.. “Ahhh abang”, jeritnya pelan. Tangan kiriku merasakan kedutan hebat dan agak rembes. Tubuhnya mengejang hebat. “Keluar juga ya…”, bisikku. Diiringi kedutan-kedutan kecil dari vagina mungilnya. “Abang belum ya?”, katanya. Langsung melumat bibirku dengan sangat liar. Semua tanganku terhenti, merasakan nikmatnya kocokan asal-asalan dari adikku ini. Gak berapa lama. Crooootttt. Tembus banyak melalui celah kecil celanaku. Adikku kaget melihat cairan kental di tangannya. “Keluar ya bang? Enak ya bang? Mau lagi gak bang?”. Kembali dia meremas burungku. Nampaknya dia heran kenapa malah nambah keras mungkin pikirnya. Aku diam saja. Tak lama dia naik ke tubuhku. Dengan memposisikan tubuhnya menghadapku. Dan vaginanya menghadap tepat ke burungku. “Ehh dek mau ngapain?”. Dia hanya terdiam. Sambil langsung menciumku dengan ganas, tanpa membiarkan aku bertanya. Memaju mundurkan pantatnya, mengadu vagina basahnya dengan burung basah ku dengan cepat. Terus diadu terus diadu. Hentakan terakhir. Terasa ujung penisku tepat masuk ke vaginanya, entah disengaja atau tidak. Diam dalam posisi itu. Aku muncrat dan dia berkedut di saat bersamaan, dengan bibir kami yang masih asik bertarung nikmat. “Ahhhhhh…” lenguhnya. Kulihat celana pendeknya sudah sangat basah begitupun aku sendiri. Dia pun turun dan bergegas menuju rumahnya. Meninggalkan aku kembali dengan celana basah. Aku pun menyalin celana ku kembali. Nyuci sendiri. Berganti dengan celana pendek warna merah. Memakainya tanpa CD, dan kembali tidur di kamarku. Mantap….
Tersentak aku terbangun dengan goyangan tubuhku. “Di di ayo bangun. Anterin adikmu sekolah sana!”, suara ibuku terdengar. Perlahan mataku terbuka. Kulihat wajah ibuku tak menghadap wajahku melainkan menghadap ke gunung merah di bawah sana. “Sial… masih bisa datang penyakit pagi ini”, kataku dalam hati. Mata ibu cantikku ini berbinar binar menatap burungku gagah perkasa. Kupejamkan mataku kembali. “Di di ayo bangun. Udah siang. Kasihan adikmu”, kata ibuku lagi. “Adik yang mana si ibu”, pikirku. Kembali si ibu menggoyangkan tubuhku, aku pura pura masih tertidur. Hingga terasa. Tangan ibu mengelus burungku perlahan. Sekali elus sepertinya ibu langsung menoleh padaku, sepertinya memastikan keadaanku tertidur apa enggak. Elusan kedua, kembali menoleh padaku. “Ahhh… Ibuku ini benar benar nakal…”, pikirku. Elusan ketiga dielusnya naik turun naik turun naik turun. Dan kembali menoleh padaku. Setelah mendapat kepastian yang cukup. Perlahan celanaku diturunkannya. Dan terpampanglah si burung dengan gagah perkasa. Posisi si Ibu kini menghadap persis ke burungku. Membelakangi diriku tanpa berpikir jika aku terbangun memergokinya. Si Ibu mulai mengocok penisku dengan sangat sangat ahli. “Benar-benar nikmat…”, batinku. Kurasakan jemari Ibu semuanya ikut bermain. “Ini kah keahlian seorang yang sangat berpengalaman?”, pikirku. Kulihat ibuku dari belakang. Dengan daster pink pendek. BH dan CD hitam yang terpampang di balik dasternya. Rambut hitam pendek terurai. Ahh. Ingin kuremas buah dada besarnya. Buah dada yang dulu menyusuiku. Ibu terus mengocokku dengan cepat. Sesekali mulutnya terbuka menyentuh ujung burungku. Ahh ibu. Teruskan. Terus dikocok dengan jari indahnya. Tanpa menunjukkan tanda-tanda orgasme dariku. Terlihat ibu letih mengocok penisku. Kembalinya diubahnya posisinya. Sluuuurrrppp.. Ibu mulai menjilati burungku. Nikmat benar-benar nikmat. Untuk pertama kalinya burungku di jilat, pertama kalinya oleh ibu kandungku sendiri. Ahhhh… ibuuu….. Ibu mulai memasukkan ujung burungku kedalam mulutnya. Perlahan tapi pasti mulai melahap burungku. Sesekali tangannya menghela rambutnya dan sesekali melirik padaku. Ahh…. nikmatnya…. Ibu terus mengulum burungku. Tapi tak semuanya terlahap oleh ibu… mantap ibu…. Di saat melahap, tangan ibu bergerak menuju vaginanya. Ya Cd hitam itu sudah tak berguna untuk ibu, tangannya masuk dan mencolok colok vaginanya sendiri, ya ibu bermasturbasi. Pemandangan yang indah. Dilahap dan dilahap. Dicolok dan dicolok vaginannya.. Ibu menegang lahapannya terlepas terdengar jeritan tertahan, “Ahhh Ardii…” Namaku disebut. Puas orgasme Ibu mulai kembali melahap burungku. Sekarang dilakukan dengan sangat cepat. Mungkin penasaran dengan spermaku. Terdengar ucap ibu di sela lahapannya. “Keluar dong keluar…” Terlihat wajah cantikku sudah sangat memerah. Kembali dilahap. Dan terasa kedutan dari penisku. Ibu sudah siap dengan memaksakan untuk melahap penisku seutuhnya dan crootttttt… “Ahhhh…”, jeritku pelan. Ibu tidak menyadari jeritanku ini. Kedutan kedua kedutan ketiga sampai kedutan keenam. Ini orgasme terpanjangku. Terlihat Ibu masih menyedot kepala burungku. Menghisap semua spermaku dari ujung burungku. Terlihat beberapa tetasan mengenai rambut Ibu dan menetes ke perutku. Setelah dirasa habis. Ibu melepas kulumannya. Terdengar suara khas antara lepasnya emutan Ibu pada burungku.
Buru-buru Ibu membersihkan perutku yang tertumpahin spermaku dengan daster bagian dadanya. Ibu masih terpana melihat burungku masih berdiri. Buru-buru Ibu menggelengkan kepalanya. Ibu berusaha memakaikan celanaku, namun sayang belum sempat menutupi penisku, aku pura-pura terbangun. Ibu terkaget melihat mataku terbuka. Gerakan ibu terhenti, aku bertanya dengan polosnya, “Ibu kenapa? Kenapa burungku bangun? Kenapa celanaku turun?”. Ibu menjawab terbata bata, “Da-dari tadi su-sudah begini. Ibu ma-mau membetulkan celanamu”. Dengan satu gerakan Ibu langsung mengenakan celanaku. Dan entah sengaja atau tidak ibu mengelus naik turun naik turun burungku. “Aduhhh duhhhh Ibu. Geli bu”, merintih keenakan. “Masa sih geli?”, tanyanya. “Iya geli bu”, jawabku. Tanpa sadar si Ibu memasukkan tangannya. Dan kembali mengocok penisku… aku terkaget dan, “Ahhh geli bu…”. Lima kali kocokan ibu meninggalkanku dengan keadaanku yang sudah bernafsu berat. Sambil berlalu Ibu berkata, “Ayo cepat. Antarkan adekmu sekolah. Kalau mau geli-gelian lagi nanti kita teruskan”. Kalimat terakhir Ibu yang terakhir tidak terlalu terdengar olehku.
Segera aku keluar kamar menuju kamar mandi. Terlihat adikku Dina, begitu cantik dengan rok merah panjang, baju putih lengan panjang, kerudung segitiga putih. Tas slempang hello kitty membelah payudaranya yang baru tumbuh. Segelah cuci muka dan gosok gigi, tanpa mandi. Mandi di jam enam dua puluh menit ini, pasti terasa mandi di air es. Setelah burungku sudah tidak terlalu terbangun, aku keluar dan menuju ke motor Nmax Hitam abu abu milik keluarganya Dina. Dina langsung naek dibelakang setelah berpamitan pada semua orang tua kami tepat jam 06:30 kami pun berangkat. Sekolahnya agak jauh dari rumah. Jadi adikku ini musti di jemput antar. Jalan menuju kesekolahannya melalui beberapa kelokan sepi, hanya satu dua rumah yang terlihat, hingga sampai ke jalan utama yang sudah cukup ramai. Kelokan pertama setelah rumah kami. Adikku ini menyuruhku untuk berhenti. “Berhenti dulu bang”, pintanya. “Ehh, kenapa?”, tanyaku sambil menepikan motorku. Tanpa kata dia turun dan langsung naek di depan, ya di depanku. Aneh saja tingkahnya ini. Kami mulai jalan kembali. Dijalan aku mulai teringat kejadian tadi pagi dengannya. Aku mulai merapatkan tubuhku dengannya. Burungku sudah mangguk-mangguk sejak tadi. Dia merebahkan kepalanya kebelakang bersandar ke pundakku. Tangan kiriku bergerak dari handle kiri motorku. Menuju buah dada mungilnya. “Jangan terlalu remas bang, nanti bajuku lecek”, pintanya. “Yahhhh…”, jawabku kecewa. Sambil mengelus bukit mungilnya. Tak ada satu kendaraan yang lalu lalang sejak tadi. Sepi benar ini desa. Dingin asri mantap jiwa. “Belokan selanjutnya kita berhenti ya bang”. “Mau apalagi si dek?”. “Berhenti aja pokoknya bang”. Kuturuti maunya. Motor kuhentikan. Lalu di berjalan menuju ke dalam semak. “Dek, mau kemana?”. Tangannya diarahkan padaku dan jarinya seakan menyuruhku mengikutinya. Aku standarkan motor dan mulai mengikutinya. “Mau kemana sih dek?. Nanti kamu telat gimana?”. “Tenang aja bang, aku masuk jam 07:30 kok.”, jawabnya. Lantasku cek jam di HPku dan jam menunjukkan angka 06.40. “Masih lama ya?”. “Iya abangku”, jawabnya manja. Setelah sampai di tempat agak lapang. Terlihat di sekitar dikelilingi pohon dan semak. Motor Nmax pun tak terlihat. “Pokoknya jangan sampai lecek ya bang, seragam ku ini”. Dengan sigap dia mengangkat rok panjang merah sebatas pinggangnya. Terlihat CD putih yang menggairahkan. “Dengan burung yang mengacung sembari mengangguk-angguk ku dekati dia. Setelah tepat di depan CDnya. Adikku berkata, “Lepas aja celananya bang. Aku merem nih biar gak keliatan”, seraya memejamkan matanya. Dengan sangat berdebar. Kuturunkan celanaku, kulihat wajah adikku, memang terlihat merem si, tapi tau dah dia ngintip atau gak. Setelah ujung burungku yang mengangguk-angguk mengikuti debaran jantungku tepat di depan CDnya. Tangan adikku merengkul leherku. Tanganku pun dengan sigap berada di posisi siaga di kedua pantat indahnya. Kuremas secara bersamaan. “Ahh abang… Ujung tongkolnya eh itunya nusuk lubang pipisku”, erangnya. “Iya dek”, jawabku
Aku putar kembali Nmax ini, menuju rumah, dan berpikir bagaimana cara memuaskan nafsuku ini. Sampai di rumah, kulihat sekeliling rumahku. Terlihat sepi, tak ada orang. “Pada pergi ya…”, gumamku. Aku melangkah ke kamarku berencana untuk menghilangkan nafsu seksku. Saat aku melewati kamar umurku, terlihat dari belakang bokong indah berbalut hitam yang tadi pagi membangunkanku. Sedang memilah pakaian. “Ngapain bu?”. “Eh, kamu Di, bikin kaget Ibu aja”. “Ibu lagi ngerapihin pakaian ini, bantuin dong”, pinta Ibuku. Saat berjalan mendekati Ibuku burung bangun dengan gagahnya. Membentuk gunung merah yang perkasa. Ibuku tak menyadarinya soalnya dia sedang membelakangiku. “Ayah kemana bu?”. “Ayah lagi ke ladang sama bapakmu”, jawabnya. “Kalau Ibuku yang satu lagi bu?”. Ohh Kak Ani, dia lagi belanja ke pasar, baru aja pergi”, jawabnya. “Wahh kepasar ya, bakalan makan waktu dua jam lebih nih”, pikirku. Aku tepat di belakang tubuh Ibuku sendiri. Dengan rambut sebahu, mengenakan daster pink tipis sepaha, yang menampakkan CD dan BH hitamnya yang menantang. Dengan tinggi kami yang sejajar, pas sekali. Karna nafsu yang tadi sudah tertahan. Kubuka langsung celana merahku. Kuarahkan ke belahan pantat Ibu. Tusukan pertama tak berasa untuknya, dikarenakan tebalnya pantat Ibu. Kuteruskan dengan tusukan kedua yang agak tajam. Dan Ibu mulai terdiam. Kubiarkan burungku menekan pantat Ibu. Ibu hanya terdiam. Tusukan ketiga kuluncurkan, dan terasa cepat sampai Ibu pantat Ibu. Ternyata Ibu menunggingkan pantatnya saat aku bersiap menusuknya. “Ibu….”, bisikku di telinganya. Hembusan nafasku memburu menghembus lehernya. Burungku masih tertancap di pantatnya. Tanganku mulai bergerak menggenggam kedua gunung kembarnya yang masih terbungkus rapi. Kuremas, kenyal. “Ahh…”, pekik Ibuku. Nafsuku yang sudah di puncak, membuatku gelap mata. Tanpa letih kuhujamkan burungku bertubi tubi, disambut pantatnya yang menungging seirama dengan hujaman burungku. Kuremas dengan liar gunung besarnya. “Ahhh… ahhh… ahhh…”, hanya itu yang keluar dari mulutku. “Ibu… Ibu… Ibu…”, balasku. “Jangan di sini Di, di sini berantakan, mending di kamarmu saja”, lirih Ibu pelan. Kuhentikan semua kegiatanku. Digenggamnya burungku, “Ahh…”, lirihku. Ditariknya seperti bergandengan tangan. Masuk ke kamarku. Dengan masih menggenggam burungku. Tangan Ibu yang satunya berusaha mengunci kamarku. Terkunci dari dalam. Genggamannya dilepaskan, Ibu kini menggenggam kedua tanganku, membawanya ke pantat Ibu yang besar dan kenyal itu. Langsung kuremas. “Aghhhh…”, kamu ini nafsu banget si…”. Tanpa mempedulikan kata-kata Ibu itu. Aku mulai merapatkan tubuh kami. Mengarahkan bibirku pada bibir Ibu, saat bertemu kami langsung berciuman dengan ganasnya. Ciuman Ibu lebih nikmat melebihi ciuman aku dengan Dina. Bibir Ibu lebih lembut, lebih manis. Sambil berciuman, tangan Ibu bergrilya menuju burungku. Dikocok dan diremasnya. Membuatku semakin bernafsu. “Ahhh… Ibu enak banget”, bisikku. “Kali ini Ibu akan membuatmu keluar duluan”, tantang Ibu. “Coba saja”, jawabku. Kembali kami berciuman. “Mmmhhhhhmmmmm… ahh
…”. Kupegang ujung dress Ibu. Kuangkat… happ… Sekali angkat terlepas sudah daster Ibu. Kulemparkan daster itu ke ranjangku. Terpampang sepasang gunung hitam. Dengan BH yang tak bisa menahannya. Dan tampak juga CD hitam yang begitu seksi. Benar-benar pemandangan indah. Ibu pun tersenyum bangga melihat anaknya beberapa kali menelan ludah saat melihat tubuh montoknya. Aku pun mulai memeluk Ibu. Kembali mencumbuinya. Tanganku menari nari di punggung Ibu. Mencari pengait BH hitamnya, ketemu dan kulepaskan. Terpana terpesona melihat gunung indah milik Ibu. Dengan puting coklat besar yang mengeras, dengan bentuknya yang membulat, benar-benar indah. Reflek, tangan kiriku memilin milin puting Ibu. Gunung Ibu yang satunya kulahap dengan buas. Sampai tangan Ibu di burungku terlepas. Suara suara desahan Ibu menghiasi ruangan ini. Membuatku semakin bernafsu. Kutusuk tusukkan burungku pada vagina Ibu yang terbungkus CD hitam yang sudah sangat basah. Ibu meracau, “Terus sayang, terus seperti itu… Buka saja sayang. Entot Ibumu ini sepuasmu. Ahhh…..”. Kubisikkan di telinganya, “Ibu mau aku entotin? Mau aku hamili? Mau jadi buda seksku?”. “Mau sayang, mau. Apapun pintamu akan Ibu turuti”. “Bagaimana kalau begini?”, bisikku. Kutarik CD Ibu, langsung kutusukkan burungku. “ARGGGHHHHHHHH….”. “Hebat vagina Ibu, masih sempit banget… tertelan semua kontol ku ini….”. Gak lama terasa vagina Ibu mencengkram burungku, dan burungku seperti diremas remasnya. Gak lama Ibu mengejang dan mengerang. “Arghhhhh… hebat kamu sayang, sekali sodok bikin Ibu langsung keluar……. Ahhhhh….”, puji Ibu. Setelah semua gelombang lahar panas kuterima, kubisikkan pada Ibu, “Tenang aja Firda sayang (Firda adalah nama Ibuku). Kamu akan kuentot terus sampai kamu memohon untuk berhenti kuentotin.” Kuakhiri dengan menggigit putingnya. Dengan burungku yang masih dalam vaginanya. Kurebahkan tubuh Ibuku, “Akan kubuat kamu ngecrotttt lagi, Firda”, bisikku. Kulepaskan burungku dari vaginanya, Ibuku nampak sedikit kecewa. Kuperhatikan vagina Ibu begitu besar, cairan kental mengalir keluar. “Jangan dilihatin saja sayang, ayo entotin Ibumu.”. “Tenang Ibu, aku pasti entotin kamu di sini”, sambil memasukkan kedua jariku ke vagina Ibuku. Ibuku hanya kaget tersentak. Kukeluar masukkan jariku Ibu, Ibu mengerang keenakan. “Ahhh sayang enak, terus terus sodok Ibu”. Lidahku mulai bergerak menyusuri perut Ibuku, terus berjalan ke bawah. Tepat berada di bongkahan daging bulat yang tak asing, cuman agak besar saja, Ibu berkata, “Kamu mau ngapain? Ayahmu saja tak mau memainkan lidahnya di sana”. Aku yang sudah kesetanan tak mempedulikan itu, kuhisap bongkahan daging merah itu, Ibu menjerit, “Enak banget sayang ahhhh….”. Kugigit gigit kecil. “Ahhh… Ibumu mau keluar lagi sayang….” Kutarik kedua jariku, kupegang kedua paha Ibuku, kuhisap hisap vagina Ibu, pantat Ibu sampai terangkat. “Ahhhh sayang…”, Ibu melenguh puas. Kuhisap semua sperma Ibu, tak ada yang tersisa. Terus kuhisap, sampai Ibu sedikit teriak, “Sudah sayang… Sudah… Memek Ibu ngilu banget…” Aku senyum bangga sambil berbisik, “Bagaimana Ibuku sayang? Enak?”. “Enak banget sayang…”, jawab Ibuku. Sambil bergerak menindih tubuhku. Karna kami sama tinggi, burungku sedikit masuk ke vagina Ibu. “Awww… kontolmu masih berdiri begini sayang… Kuat banget… Keras banget. Melebihi bapakmu sayang…”. “Hehehe”, tawaku bangga. Ibu mulai berdiri, digenggamnya burungku dan diarahkan ke vaginanya, dan mblessss… Dengan sedikit, “Agghhhhh…”, dari mulut Ibuku, burungku amblas semua ke dalam vagina Ibu. “Gede banget kontolmu sayang, memekku serasa mau sobek… ahhh….”. Diiringi gerakan naik turun pantat Ibuku. Setiap Ibu menurukan pantatnya, ujung burungku terasa seperti membentur dinding. Di saat itu pula Ibu menjerit. “Ahhh…”, jeritnya. Terus saja Ibu melakukan itu tanpa mempedulikan erangan erangan erotisnya sendiri, jika ada ayahku pasti sudah digrebek sejak tadi. Nafas Ibu yang bergemuruh, keringat Ibu yang bercucuran terlihat benar benar sangat menggoda. Dihentakan terahkhir, ujung burungku serasa menembus dinding yang sejak tadi menghalangi. Ditambah desahan panjang Ibu. “Ahhhhh… sayang… Ibu keluar… Ahh….” Ujung burung bagai tersiram lahar panas, dinding dinding vaginan Ibu meremas remas burung dengan liar… Tak terasa aku pun membalas desahan Ibu. “Aahhh… aku juga keluar Ibu…. Ahh…”, kusemburkan semua spermaku kedalam rahim Ibuku sendiri. “Terus sayang… terus… tumpahkan pejuhmu semua dalam rahim Ibu…”. “Ahhh… Ibu pun terkulai lemas di dadaku, kelamin kami masih bersatu, kedutan kedutan dari burungku masih berlanjut, walaupun kedutan Ibu sudah tak terasa. Kuelus elus punggung Ibuku, kukecup keningnya. “Sayang, kontol kamu masih tegak ya? Ibu masih merasakan gerakan gerakan kontolmu di memek Ibu. Maaf ya sayang, Ibu dah gak kuat lagi”. “Gak apa sayang, nanti malam kan bisa kita lanjutin lagi”, balasku. Diakhiri dengan gigitan lembut di telingaku. Ibupun berguling ke sebelah kananku, nampak jelas daging bawah vagina Ibu ikut tertarik keluar saat burungku terlepas. “Ahhh… nikmat banget…”, terdengar sisa sisa kenikmatan dari mulut Ibu. Aku pun bangun dan kulihat dari vagina Ibu, mengalir deras cairan kental itu. Cairan kental aku dan Ibuku. Aku pun bergegas ke kamar mandi, pukul sudah menunjukkan jam 08:10 menit. Cukup lama aku bercinta dengan Ibuku. Aku lekas keluar kamar, dan membiarkan Ibu tertidur di kamarku.
Keluar dari kamar mandi, dengan hanya mengenakan lilitan handuk. Aku melihat Ibu Ani ibunya Dina yang sedang kerepotan membawa kantong kantong lauk pauk. “Bu, Ibu sini aku bantuin?”, aku bergegas menemui Ibumu tanpa sadar lilitan handuk mulai longgar. Aku sampai di depan Ibuku yang satu ini, dia terdiam melihatku, matanya tertuju ke lilitan handukku. Akupun memanggilnya lagi, “Ibu, sini aku bantuin”. Ibupun tersadar dengan wajah memerah, “Eh iya, ini nak kamu bawa ini ke rumah atas ya”. “Oke bu”, jawabku. Aku biarkan Ibu berjalan di depanku. Lama kuperhatikan pantat Ibu yang satu ini oke juga. Tepat diruang penyimpanan yang sempit, Ibu meletakan belanjaannya di meja. Aku pun mengikutinya. Tanpa sadar lilitan handukku terlepas. Dan mata Ibu langsung tertuju pada burungku yang berdiri gagah sejak aku melihat pantat Ibuku tadi. Sempat kulihat beberapa kali dia menelan ludahnya. Aku yang sudah terangsang hanya membiarkan burungku ini menjadi tontonan Ibu. Kulihat tangan Ibu mulai bergerak, berusaha menggapai burungku, “Ahhh… lembutnya tanganmu Ibu”, desahku. Tersentak Ibuku kaget dan membalikkan badannya. Dan berkata,”Maaf maaf Ibu gak sengaja menyentuhnya”. Aku berjalan mendekatinya, menempelkan burungku pada pantatnya, “Ahhh…”, desah Ibu saat burung menempel erat di pantatnya. Dan kuberbisik, “Kalau Ibu mau, Ibu boleh memegangnya lagi kok”. Ibu terdiam sepertinya meresapi tusukan di pantatnya. Dua menit di posisi yang sama, kutusukan lagi pantatku, kali ini kuangkat daster Ibuku terlebih dahulu. Karna tanpa perlawanan, jadi kutusukkan saja kepantatnya yang berbungkus CD merah itu. “Ahhhh…”, jeritnya lagi. “Gimana Ibu? Apa kita teruskan di kamar?”, tanyaku. Setelah dua menit terdiam dalam posisi itu. “Gak usah gak usah, pakai saja handukmu dan balik ke kamarmu.”, Ibu mulai bersuara. “Oke”, jawabku. Kulilitkan kembali handukku. Dan kumelangkah keluar dari ruangan penyimpanan itu. Setelah itu aku tak tahu apa yang dilakukan Ibuku itu.
Aku kembali ke kamarku, dan kulihat kamarku sudah rapi, tak ada tanda tanda pertarunganku dengan Ibuku tadi. Lalu aku berpakaian seperti biasanya.
Saat ku keluar, aku berpapasan dengan Ibuku. Kulihat badannya terlilit handuk. Dengan tali BH putih menghiasi pundaknya. Rambut basah yang menandakan dia baru saja selesai mandi. Seketika burungku terbangun. “Ibu”, panggilku. “Iya sayang”, jawabnya dan menghampiriku. Langsung saja kupeluk dia, dan aku berusaha melepas lilitan handuknya. “Ayo kita ngentot lagi sayang… Kontolku sudah kangen memekmu…”, bisikku. Seraya tanganku meremas pantatnya. “Jangan sekarang sayang, nanti Kak Ani melihat kita”, jawabnya. “Oke, kalau begitu kita ciuman saja”, balasku. Tanpa menunggu jawabannya aku langsung menyosor bibirnya, tanganku dengan liar meremas pantatnya. “Mmhhhhmmmmm…”, terdengar dari mulutnya. Dia berusaha melepaskan diri. Setelah terlepas dia langsung berlari ke kamarnya. Menyisakan aku terpaku.
Jam 09:10 pagi.
Setelah semua aktifitas pagi yang kulalui, kini ku terduduk di bale teras rumahku. Menikmati suasana pagi yang masih asri. Udara dingin masih menyelimuti diri ini, “Ahhh… mantap”, kataku. Suasana seperti ini yang sudah jarang kudapati di kota tempat ku merantau.
“Ceklek…”, terdengar pintu rumahku yang tertutup. “Kenapa gak dikunci sekalian si Ibu?”, tanyaku. “Ngapain dikunci toh di sini gak pernah ada maling”, jawab Ibuku sambil berjalan menghampiriku yang berjarak tujuh langkah darinya. Mataku pun tertuju padanya dari langkah pertamanya. Terlihat wanita dewasa, dengan daster penuh bunga-bunga yang selutut. Gunung indah yang berayun-ayun. Tak terlihat jelas, apakah warna BH Ibu? Atau apakah Ibuku tak memakai BH? Timbul pertanyaan-pertanyaan itu dalam benakku. Ketika tepat di hadapanku, Ibu berhenti sejenak, dengan bagian Vaginanya yang tepat di wajahku. Aku tak sempat melihat wajahnya, yang terlihat hanya bagian bawah dasternya, dan nampak garisan CDnya. Menerima perlakuan ini, kedua tanganku meraih pantat Ibu, dapat… kuremas lembut bongkahan daging itu. “Mmmhhhhhmmmm”, hanya itu yang terdengar dari mulutnya. Kuletakkan mulutku tepat di vaginanya. Kubenamkan wajahku pada vaginanya, kugerakkan ke kiri dan ke kanan. “Ahhh… sayang… Jangan begitu… Nanti ada yang melihat”, erang Ibu. Walaupun Ibu berkata seperti, tapi tubuhnya malah semakin mendekat padaku. Kedua tangannya meremas kepalaku, dan menekannya membenamkannya pada vaginanya… “Ahhhh…”, pekiknya. “Brak…”, terdengar sesuatu. Kami pun terkaget. Semua aktifitas terhenti. Kami melihat sekeliling, mencari sumber suara itu. Namun tak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Dan Ibu memilih duduk di sampingku. Ibu duduk menyamping menghadapku dengan menyilangkan kakinya. Terlihat paha mulusnya yang bersih tanpa noda. “Ingin kubuat tanda di sana”, anganku. Kami saling memandang. Tangan Ibu merangsek masuk celana pendekku. Bertemu dengan burungku yang setengah bangun. Dibelainya dengan sayang dan penuh nafsu. Dan berkata, “Kamu kok gak pakai CD? Gak liat apa kontolmu segini?”, sambil meremasnya dengan keras. Aku hanya meringis. Belum sempat kumenjawab, Ibuku berkata lagi, “Nanti kalau Kak Ani melihatmu seperti ini bagaimana? Apa dia udah melihatmu seperti ini? Awas aja kalau kamu macam-macam sama dia ya?”, ancam Ibuku, sambil tetap meremas burungku. Tanpa mempedulikanku yang meringis menahan remasannya. “Ibu, aku belum melihat Ibu Ani kok”, akupun berbohong sambil membuka tiga buah kancing atas dasternya. “Bagus”, kata ibu sambil memegang tanganku berusaha menepiskan tanganku yang berusaha masuk untuk meremas gunungnya. “Ehh…”, kataku. “Sudah ahh… Ibu mau bantu Ibu di atas masak dulu”, kata Ibu. “Ehh… tega…”, jawabku sambil berdiri. Lalu kuturunkan celanaku sampai ke lutut. Terpampang jelas burungku yang mengangguk angguk. Akupun kembali duduk. “Nih liat… gara-gara Ibu nih. Masa’ Ibu mau pergi gitu aja”, kataku. Ibu terpana, entahlah padahal sudah pernah bertemu dengan burungku, tapi tatapannya saat melihat burungku, seperti tatapan pertama kali melihatnya. Kembali tangan Ibu mendekati burungku. Akupun tak mau kehilangan kesempatan ini. Tangan kiriku meraih pundak Ibu menggesernya mendekat padaku. Ibu kini sangat dekat denganku. Tangan kananku mulai mengelus ngelus paha Ibu. Paha Ibu melebar, memberikan jalan menuju CD putihnya. Pandangan Ibu masih tertuju pada burungku, dengan tangannya mengocok burungku. “Kontolmu panjang dan keras begini Di, benar-benar berbeda dari Ayahmu”, ucap Ibuku. Ibu masih asik dengan burungku, kulihat wajahnya sudah memerah dipenuhin nafsu. Tangan kiriku memilin milin putingnya yang sudah sangat keras. Tangan kananku berusaha masuk ke balik CDnya. “Mmmmhhhhmmmmm…”, hanya itu yang keluar dari mulut Ibu. Ibu menahan desahannya. Benar-benar sangat profesional. Masuk, dua jariku masuk ke vagina basahnya. “Ahh…”, pekiknya. “Sttt… Ibu”, bisikku. Sepertinya Ibu mengerti. “Mmmmhhhmmmm”, desahan Ibu mulai terdengar kembali. Kubisikkan, “Memekmu basah banget sayang, dan licin banget”, tambahku. Ibu kini menatapku. Seraya menciumku dengan ganas. Tangannya mempercepat kocokannya di burung. Jariku pun tak mau kalah di bawah sana. Air liur kami menetes deras. Terdengar decitan decitan suara bale bambu ini. Sekian lama kami berciuman, tiba-tiba Ibu berdiri di hadapanku. Menurunkan CD nya sendiri. Dan berusaha naik ke pangkuanku. Digenggamnya burungku dan diarahkan ke vaginanya. Perlahan tapi pasti burungku amblassss ke dalam vaginanya. Sampai tertelan semua, Ibuku berkata, “Maaf sayang, Ibu sudah gak tahan”. Dan kembali memulai aktifitasnya. “Memek Ibu, enak banget”, kataku. Mendegar itu Ibu semakin menjadi jadi menaik dan menurunkan pantatnya. Decitan bale terdengar agak keras, diselingi desahan tertahan dari kami berdua. Kubenamkan kepala di belahan gunung Ibu. Kuemut di sana, berharap bisa menghasilkan tanda. Tangan Ibu semakin menekan kepalaku di dadanya. “Ahhhh…”, pekik Ibu. Ayunan pantatnya terhenti, burungku tertelan semua, lahar panas Ibu lagi lagi menyiram burungku, nafas Ibu memburu. Ibu orgasme lagi, dan berbisik, ” Kontolmu enak banget sayang… Nanti keluarin semua spermamu dalam memek Ibu, ya?”. Sambil memulai aktifitasnya lagi, namun kini secara perlahan. Akupun menatap wajahnya, dan menjawab pertanyaannya dengan ciuman panas di bibirnya. Gerakan Ibu mulai semakin cepat. Bibir kami masih bergelut liar. Cepat cepat semakin cepat ayunan pantat Ibu. Aku dan Ibu tau, jika burungku sudah mengeluarkan tanda-tanda akan menumpahkan lahar. Ibupun semakin cepat… Hentakan terakhir, kubantu Ibu dengan memegang pinggangnya, dan menurunkan tubuh Ibuku agar vaginanya semakin lahap menelan burungku. Burungku menembus dinding, ya, ternyata itu dinding rahimnya. Tubuh Ibu menegang hebat. Semburan demi semburan kukeluarkan di dalam sana. Disusul lahar Ibu yang kembali keluar. Ciuman kami masih belum terlepas, kami berciuman dengan lembut, seperti sepasang kekasih. Cukup lama kami di posisi ini. Ibu melepas ciuman kami. Dan turun dari pangkuanku. Lagi… nampak jelas daging vagina Ibu yang ikut keluar saat melepas burungku, dan suara khas pelepasan itu. Ibu berdiri di depanku. Kulihat, sperma kami menetes dari vagina Ibu, cukup banyak, membasahi CD putih Ibu di bawah sana. Ibu berjongkok di depan burungku. Tangannya meraih burungku. Matanya melihat tajam ujung burungku, terlihat masih ada sedikit seperma yang keluar dari sana. “Sayang kamu masih mau lagi ya?”, tanyanya dan langsung melahap burungku. Kuremas kepalanya, kudorong agar semakin kepangkal burungku. Kuluman Ibu terlepas, Ibu pun terbatuk-batuk. Kembali lidah Ibu menari indah di burungku. Sepertinya lidah Ibu berusaha membersihkan burungku. Setelah bersih, Ibu berkata, ” Sudah ya sayang, Ibu harus bantu Ibu di atas untuk masak. Aku berdiri, Ibu masih berjongkok berhadapaan dengan burungku. Ibu pun mengerti, Ibu memakaikan celanaku dan berdiri sejajar denganku. Terlihat jelas celanaku bergerak gerak. “Kontolmu mantep banget sayang, ingat itu hanya milik Ibu”, bisiknya di kupingku. Ibu mencolek burungku dan meninggalkanku dengan celana yang bergerak gerak itu. Melangkah ke rumah atas. Terlihat Ibuku sedikit tersentak melihat Ibu Ani sudah berdiri di depan pintu rumahnya, yang berada beberapa meter dari rumahku. Ibuku masuk ke rumah Ibu Ani. Terlihat Ibu Ani menatapku, kurang jelas juga menatapku atau menatap celanaku yang masih bergerak gerak. Ibu Ani tersenyum, senyuman yang sama dengan Dina, adikku. Peduli setan, kuturunkan celanaku. Kuperlihatkan lagi burungku ini pada Ibu Ani. Ibu Ani terkejut, dengan menutup mulutnya. Kali ini Ibu Ani terus menatapku yang berjalan dengan keadaan burungku yang bergerak mengikuti langkahku menghampirinya. Sesekali Ibu Ani terlihat melihat ke pintu dapur, dapur Ibu Ani ada di belakang kamar tidurnya jauh kedalam. Semakin dekat aku dengannya. Semakin terlihat wajahnya yang memerah padam. Saat aku di depannya, burungku menangguk angguk di hadapannya. Ibu Ani hanya menatap ke burungku. Dan mulai berbicara dengan pelan, “Kamu sudah gila, ya? Kalau adikku lihat bagaimana?”. Ibu Ani mulai menatapku. Wajahnya sangat merah. Ku tak peduli dengan katanya. Kuraih bongkahan pantatnya. Tanpa perlawanan tubuh bawah kami sangat nempel, tapi bagian atasnya, kedua tangan Ibu Ani menahan agar tubuh kami tak menempel seutuhnya. “Begini cukuplah”, pikirku. Kudorong tubuh Ibu Ani ke belakang. Ini kulakukan agar kami tak terlihat oleh Ibuku. Karna pintu rumah yang sejajar dengan pintu dapur, walaupun dapurnya agak lebih ke sudut belakang kamar. Tubuh kami tertahan pada sebuah pintu lagi, ya ini pintu tempat penyimpanan barang. “Kamu ini…”, pekik Ibu Ani. Kututup mulutnya dengan tanganku. Burungku sudah menusuk nusuk vagina Ibu Ani. “Stttttt…”, bisikku. Kulepaskan tanganku. Kini tanganku berusaha membuka pintu ruangan ini, “klekk…”, terbuka. Kudorong kembali tubuh Ibu Ani. Kembali kututup pintu itu, “klek…”. Ibu Ani mulai berbicara, “Kamu ini apa-apaan sih… Awas Ibu mau keluar. Ibu mau masak”, ucapnya. Tangannya meraih ganggang pintu. Dengan sigap kumiringkan tubuhku. Otomatis burung yang sudah mengelurkan uratnya ikut bergerak. Tersentuhlah tangan Ibu Ani. Kaget, reaksi Ibu Ani. Cuman tangannya tetep memegang gagang pintu. Kugesek gesekan ujung burungku pada tangan lembutnya. “Ahhh… lembut banget bu…”, ucapku. “Aneh…”, pikirku, “Kenapa tangan Ibu Ani selembut ini”. Ibu Ani tak melihatku hanya melihat burungku di tangannya. Setelah lama aku menggesek gesekkan ujung burungku, tangan Ibu Ani mulai bergerak menjauhi gagang pintu bergerak perlahan… saat jarinya tepat di ujung burungku, gerakan Ibu berubah jadi genggaman. Digenggamnya kepala burungku, ditariknya ke posisi semula di hadapannya. Dengan tetap menggenggam burungku, suara Ibu Ani terdengar berat, “Kamu mau apa?”, katanya. Tangannya mulai bergerak mengocok burungku. Aku hanya memejamkan mata menikmati sensasi ini. Tangannya lebih lembut dari tangan Ibuku. Entah kenapa aku sangat bernafsu pada Ibuku yang satu ini. Dengan mengulang pertanyaan yang sama, “Kamu mau apa?”, Ibu masih mengocok lembut burungku. Kurasakan Ibu Ani menatap wajahku. Mungkin terlihat wajahku yang sudah menahan keenakan ini. Desahan nafas terdengar dari Ibu Ani yang masih tetap konsisten mengocok penisku. “Aku mau ini…”, jawabku dengan nafas sangat berat, dan tanganku meraba raba pahanya mencari vaginanya. Tangan Ibu Ani menggenggam pergelangan tanganku. Dan menuntutnya ke vaginanya. “Ini?”, Ibu Ani memastikan saat jariku tepat di vaginanya. “Iya…”, jawabku lirih. Dilepaskannya genggaman tangannya dari tanganku. Kuelus vagina berbalut CD hitam itu… “Ahhhh…”, desah Ibu Ani yang sejak tadi mengocok lembut burung. Terus kuelus vaginanya. Dan kubisikkan di telinganya, “Memekmu sudah terangsang ya…?” Ibu menatapku dan mengangguk. Langsung kumasukkan jariku. “Ahhh…”, jeritnya halus. Tangannya berhenti mengocok burungku, hanya menggenggamnya saja. Kucolokkan satu jariku. “Ahhh…”, desah Ibu Ani. Kucoba menggunakan dua jari. Agak sulit, namun tetap masuk. “Duhh…”, pekik halus darinya. Dua jari terasa seret keluar masuk vaginanya. Padahal vagina ini sudah cukup basah. Apakah perawatannya? Ataukah burung Ayahku yang satu ini tak cukup besar?, pikirku. Terus kucolok colok vagina Ibu Ani. Ibu Ani memejamkan matanya dan mendesis “Ssshhhhhh…”, keenakan. Kubisikkan, “Sempit banget memekmu bu”. Ibu membuka matanya, tangannya kembali mengocok lembut penisku. Mengocok mencolok mengocok mencolok. Desahan desahan tertahan kami mulai terasa. Kutarik lepas CD hitamnya. Terpampang lah vagina Ibu Ani, indah, bersih tanpa bulu. Kuangkat sedikit dasternya. Kuraih pantat Ibu Ani, sepertinya Ibu Ani mengerti. Diarahkannya ujung burungku tepat di pintu vaginanya. Kudorong pelan tubuhku, ujung burung mulai membuka pintu. “Isshhhhh…”, Ibu Anis mendesis memejamkan mata. Tangannya masih menggenggam burungku. Kudorongkan tubuhku lagi. Sedikit demi sedikit burungku masuk ke vagina Ibu Ani. “Bu, memekmu sempit banget, nikmat banget bu…”, bisikku. Tangan Ibu Ani berpindah, kini kedua tangannya merangkul leherku. Mulut Ibu Ani terbuka. Nafasnya terengah engah. Baru setengah burungku yang masuk, dorongan terakhir… Dua per tiga burungku yang masuk. Ibu menjerit sedikit keras, “Ahh… pelan pelan sayang”, lirihnya. Kuhentikan doronganku. Kubiarkan vagina Ibu Ani terbiasa dengan burungku. Burungku bagaikan dipijit pijit dinding vaginanya. Ujung burung terasa sudah di dinding rahim Ibu Ani. Sekali dorongan lagi mungkin kepala burungku masuk seutuhnya ke rahim yang melahirkan Dina ini. Setelah nafas Ibu Ani mulai teratur, kumundurkan tubuhku, kumajukan kembali secara perlahan, terus kulakukan itu secara bertahap namun pasti. Cuman cukup dua per tiga penisku yang masuk. Semakin cepat tusukkanku, semakin lirih desahan Ibu Ani. “Ahhh… kontolmu gede banget say… Memek Ibu terasa penuh…”, racaunya. Terus kusodok sampai terasa akan muncrat. “Say Ibu mau keluar… ahhhh…”, desahnya. “Aku juga bu… aku keluarkan di dalam, ya?”, desahku juga. Ibu tak menjawab. Terlihat dia mengigit bibirnya. Sodokan terakhir, kusodok sekeras mungkin, seluruh burungku masuk. Tubuh kami mengejang, digigit mesranya leherku, kepala burungku menembus dinding vaginanya… “Ahhhh…”, desahan kami bersamaan. Aliran sperma panas Ibu bertemu dengan spermaku. Kusemprotkan semua kedalam rahimnya. Ibu Ani masih menggigit leherku. Kedutan kedutan alat vital kami berhenti bersamaan. Burungku mengecil di dalam vagina Ibu Ani. Kucoba melepaskan burungku ini dari sangkar Ibu Ani, tapi tangan Ibu Ani malah mendorong pantatku, berusaha agar burungku tetap berada dalam vaginanya. Oke aku turuti, kutekan kembali pantatnya ke burungku. Tangan Ibu Ani kembali merangkul leherku, dengan kembali menggigit leherku yang sudah berganti ke sebelahnya. Kembali Ibu Ani menegang, gelombang sperma panas kembali datang dari vaginanya. “Orgasme susulan? Pantas saja…”, pikirku. Lama Ibu Ani menegang kedutan kedutannya mulai hilang, barulah Ibu Ani melepaskan rangkulannya, tersenyum dengan puasnya. “Sudah bu? Kulepaskan ya?”, tanyaku. Ibu Ani hanya tersenyum, terdengar suara khas pelepasan itu. Diiringi desahan Ibu Ani. Kuangkat sedikit dasternya. Kuperhatikan vaginanya, terlihat tetesan sperma yang cukup deras. Setelah tetasannya berhenti. Ku jongkok dan berusaha memakaikan CDnya, saat CD nya berada tepat sebelum vaginanya. Keemut mesra vaginanya. Reflek tangan Ibu Ani meremas kepalaku, dan menariknya menjauhi dari vaginanya. Setelah kupasangkan CD nya, “Sudah ya? Ibu mau masak dulu?, ucapnya. Kubuka kan pintunya, kubiarkan dia berada tepat di depan pintu, dan aku di belakangnya. Kupeluk mesra dari belakang, kutempelkan burungku tepat di pantatnya. “Sudah dong”, jerit Ibu Ani manja, tanpa memberi perlawanan. Kuteruskan dengan meremas kedua gunungnya dan kutekan kan kembali burungku, “Ahh…”, desahnya ketika gunungnya kuremas dengan gemas. Ibu Ani membuka pintu. Kami keluar masih dalam posisi itu. Tanganku tak henti-hentinya meremas gunungnya. Sesaat sebelum sampai depan pintu rumahnya, “Sudah ya? Nanti Ibumu melihat kita. Lebih baik kau kembali ke rumahmu”, ucapnya. Kembali kuremas kedua gunungnya, kucium mesra lehernya. Baru kubiarkan Ibu Ani masuk ke rumah dan langsung menuju ruang dapurnya. Akupun melangkah menuju rumahmu dimana terlihat celana merahku tergeletak. Kupakai dan kembali terduduk di bale rumahku. Kupejamkan mataku akupun tertidur di bale itu.
Mendengar suara suara bercerita.
Aku membuka mataku. Terdengar Ayahku dan Ayah Dina sedang mengobrol. Aku sendiri merasa sedang di elus elus. Kepalaku terasa di elus elus sayang. Dan aku merasa tidur di bantal hitam yang empuk. Terlihat Ayahku sedang berhadapan dengan lawan bicaranya. Dan kulihat bantal itu ternyata paha mungil Dina. Aku merubah posisiku menjadi terlentang. “Ehh… abang sudah bangun?”, bisiknya di kupingku dan mengecup pipiku. “Semuanya ayo kita makan ke atas… Dina abangmu sudah bangun?”, tanya Ibu Ani pada anaknya. “Belum mah, nanti aku bangunin”, jawabnya. “Bohong”, pikirku kembali memejamkan mataki. Kedua Ayahku segera menuju ke rumah atas. Tinggal kami berdua. Dengan posisi aku berada di atas paha empuknya adikku. Tak lama aku merubah posisiku. Aku berbalik, tengkurap, kubenamkan wajahku tepat di sela pahanya. “Ahhh abang”, desahnya. Semakin kutekan kepalaku. Kukeluarkan lidahku, kujilat jilati di sana, tercetak jelas vagina mungilnya. Terus kujilat sampai celana ketat pendek itu basah karna air liur dan cairan vaginanya. “Mmmhhhhmmmm”, desisnya, sambil tangannya meremas remas rambutku. “Ahhh… abang sudah dong… Jangan bikin aku basah… Ahhh…”, pintanya bercampur desahannya. Aku bangun dan berkata, “Salahmu sendiri”. Dia hanya tersenyum dan menggandeng tanganku menuju rumahnya. Kami semua berkumpul untuk makan bersama. Kami seperti membuat lingkaran. Aku, Ibu Ani, Dina, Ibuku, Ayahku, Ayahnya Dina. Ibu Ani menghidangkan nasiku di piringku. Aku hanya bilang mau makan pakai. Begitu pun Ibuku menghidangkan nasi untuk Dina. “Ibu Ani gak makan?”, tanyaku. “Ibu nanti makannya setelah semuanya sudah selesai”, jawab Ibu Ani dengan bibir merah sensualnya. Kulihat kedua Ayahku sudah selesai, sedangkan Dina dan Ibuku kelihatannya masih lama. Sedangkan aku hanya tersisa sedikit. Kulihat jam di dinding menunjukkan jam 14:10. Ibu Ani berdiri membereskan piring ayahku. “Dek, aku nyuci piring sama peralatan di dapur, ya. Sisanya kamu yang bereskan”. “Iya, kak”, kata adek kakak perempuan ini. Ibu Ani melangkah masuk ke dapur, aku menyusulinya ke dapur sambil membawa piring kotorku. Ibu Ani meletakkan piring kotor di meja cuci piring, terlihat beberapa barang untuk dicuci, tanpa menyadari keberadaanku dan burungku yang tepat di pantatnya. Dan “Ahhh…”, jeritnya menggoda saat kutusukkan dan keremas gunung kembarnya. Dia hanya menengok kebelakang, dan tersenyum melihatku. Tangannya memegang pinggiran meja cuci. “Kamu benar-benar gila ya nak? Tak peduli padahal di luar masih ramai”, ucapnya. Tapi tubuhnya berkata lain, pantatnya bergerak gerak menerima tusukanku, tangannya meremas remas pinggiran meja cuci, matanya terpejam menerima tusukan dan remasan di gunungnya. “Ibu… aku mau ngentotinmu lagi”, bisikku. Kujilat lehernya… cukup lama kujilat bergantian kanan dan kiri. Kusingkapkan dasternya dan kugeserkan CDnya ke samping. Dan “mblassss…”, tertelan pelan burungku. “Ahh…” desahnya, yang kemudian menungging menerima tusukanku dan tangannya bertumpu pada meja cuci. Tusukan yang perlahan lahan ini disambut dengan pantat Ibu yang menungging. Tanganku kuletakkan di pinggangnya, kugunakan untuk membantu menusuknya dari belakang. Sesekali kuemut kedua pantatnya. Ibu Ani hanya menggigit bibirnya tanpa mengeluarkan suara. Terus kusodok, semakin lama semakin cepat. Saat aku akan mencapai klimaksku, “Sayang, aku sudah mau keluar ini… ahhh…”, ucap Ibu. “Pas sekali…”, pikirku. Kutancapkan dalam dalam kembali memasuki dinding rahimnya. Kusemburkan semua spermaku dalam rahimnya. Tubuh Ibu Ani pun menegang menerima tusukan terahirku, menjerit tertahan. Meremas remas burungku dalam vaginanya… Kubisikkan di telinganya, “Memek Ibu sangat enak bu”. Dan kucabut dengan cepat burungku, terlihat sisa sperma panas yang keluar dari vagina Ibu. Ibu masih menungging menikmati orgasmenya, kurapikan daster Ibu Ani. Kuemut dengam penuh nafsu pantatnya. Baru kuturunkan dasternya. Dan kukenakan kembali celana pendekku. Dan ku melangkah pergi meninggalkan Ibu Ani yang masih menungging terlihat pantat Ibu Ani masih berkedut kedut. Saat aku keluar dari pintu dapur, aku berpapasan dengan Ibuku. “Ehh… Ibu…”, sapaku. Agak berdebar aku saat itu. Dan berharap Ibuku ini tidak menyadari jika burungku masih berdiri dengan sedikit gerakan halus. “Ehh kamu Di. Bantu Ibu bawa ini ke dapur”, balasnya sambil menyodorkan beberapa piringku. Aku tak menjawabnya, aku mengambil sebagian piring kotor, dan putar balik kembali menuju dapur, berharap jika Ibu Ani sudah mulai mencuci piringnya. Ibuku mengikutiku dari belakang. Terlihat Ibu Ani sudah asik mencuci, dan badannya bergerak gerak mengikuti gerakan tangannya. “Ehh kamu Di, letakkan piring itu di sebelah kanan Ibu”, pintanya. Akupun menuruti maunya. Sengaja aku meletakan piring kotor di dadaku. Dan berjalan miring di belakang Ibu Ani yang mencuci ini. Sengaja kutusukkan perlahan burungku pada pantatnya, “Ahhh…”, jerit Ibu Ani. Kudiamkan beberapa saat, dan “Maaf maaf bu, aku gak sengaja”, jawabku berbohong. “Mmmmhhhhmmmm, jawab Ibu Ani. Kuletakkan piring kotor itu di kanannya. “Kak, aku letakkan di sini ya?”, kata sang adik. “Iya dek”, kakaknya mengiyakan. Si adik pun keluar dari dapur mengikuti dari belakang. Kulihat di ruang utama ini terlihat adikku masih makan. “Dek, ayah kita kemana?”, tanyaku. “Kembali ke ladang”, jawab adikku singkat sambil meneruskan makannya. Aku melangkah keluar menuju rumahku. Terdengar suara Ibuku, “Nanti kamu bantu Ibumu di dapur ya…”, ucap Ibuku pada Dina. Aku melangkah ke rumahku menuju kamarku. Kubiarkan pintu rumah terbuka dan langsung menuju kamarku. Aku duduk di ranjangku. Dan kukeluarkan burungku yang terbangun ini. Kuperhatikan terus menerus, burungku malah semakin mengangguk angguk. “Clek…”, suara pintu rumah terkunci. Dan Ibuku langsung masuk ke kamarku. “Kamu ngapain?”, melihatku yang mengelus elus burungku. “Ehh, enggak kok bu”. Sambil tetap mengelus burungku sendiri, “Kamu tadi sengaja ya menusuk pantat kakakku dengan ini?”, tanya Ibu sambil meremas keras burungku. “Haduhhh Ibu sakit…”, jawabku meringis. “Jawab…”, ucapnya. “Ahhhh… Ibu sakit…”, jawabku memelas. “Iya aku sengaja…”, jawabku lagi. Si Ibu makin keras memerasnya, tanpa mempedulikan anaknya yang meringis kesakitan. Dikocoknya burungku dengan cepat, antara nafsu dan amarah yang terlihat dari wajah Ibuku. Terus dikocoknya… Aku hanya melenguh. “Pelan pelan bu…”. Ibu tak mempedulikanku. Terus saja mengocoki aku seperti itu dan bertanya, “Kenapa kamu lakukan itu?”. “Aduh… Ibu sakit, jawabku makin meringis. “Jawab…”, hardiknya keras dan mempekeras kocokannya. “Aku… aku nafsu sama Ibu Ani”, jawabku pasrah. “Maaf, maafkan aku Ibu”, memohon ampunannya. Ibu tetap tak mempedulikan aku. Dikocok dan dikocoknya terus burungku. “Aduuh… aduhhh…”, hanya itu yang kuucapkan. Dan Happp… Burungku sekarang bersarang di mulutnya. “Ahhh… Ibu…”, desisku sambil tanganku meremas rambutnya dan mendorong kepalanya agar mulutnya menelan burungku sepenuhnya. Tapi ternyata Ibu tak mau. Ibu melepaskan mulutnya dari kepala burungku. Dan membiarkan burungku bergerak kesana kemari memuncratkan sperma ke berbagai tempat. Rambut Ibu, kening Ibu, bibir Ibu, baju Ibu. Tepat di muncratan terakhir, mulut Ibu langsung melahap burungku sampai ke pangkalnya dan “Ahhh… aku muncratkan sisanya dalam mulut Ibu. Terasa sekali mulut Ibu mengenyotin ujung burungku sampai spermaku tak keluar lagi. Lalu melepaskannya pergi dan beranjak keluar kamarku dan menutup pintu kamarku. Aku yang sudah kecapek.an hanya bisa rebahan tanpa celana, denga burung yang sudah tertidur. Mengikuti pemiliknya yang tertidur.
Jam 19:35.
Aku tersentak. Kulihat sekeliling gelap gulita, sepertinya Ibuku tak membangunkanku. Kulihat burungkupun masih tidak bercelana.
Kuraih HPku dan kulihat, “Baru jam segini…”, gumamku. Kembali kuletakkan HPku dan kuteruskan acara rebahanku.
Beberapa menit kemudian, pintu kamarku terbuka, ya ada yang masuk. “Siapa saja boleh, asalkan jangan Ayahku”, kataku dalam hati. “Abang…”, panggil suara di sana. Seraya menutup pintu dan menghidupkan lampu kamarku. Sempat terhenti langkahnya. Namun pintupun tertutup, diiring suara, “Klekk…”, pintu yang terkunci. “Dasar adikku…”, batinku. Kurasakan dia mulai duduk di pinggir ranjangku. Memanggil manggil namaku, anehnya suaranya agak pelan. Kemudian dia mulai menggeser duduknya ke tengah, bersimpuh di hadapan burungku. Kembali memanggil namaku. “Abang…”, panggilnya lirih. Aku meresponnya dengan burungku yang terbangun perlahan, menunjukkan keperkasaannya pada adikku. Suara adikku menelan ludah terdengar jelas. Bergerak pelan tangan adikku, sepertinya ini pertama kalinya dia menggenggam burung. Digenggamnya, lama kelaman burungku makin membesar digenggaman tangannya yang mungil. Genggaman tangannya tak mampu menggenggam burungku. Matanya melirik padaku, memastikan aku tertidur. Sedangkan tangan kecilnya masih menggenggam burungku. Terdengar nafasnya yang memburu, tangannya bergerak naik turun, “Kaku…”, itu yang kurasakan. Tak seperti genggaman para Ibuku. Kubiarkan dia terus mengocok burung sesukanya. Adikku sekarang sedang menggunakan kaos oblong, dipadu dengan legging hitam panjang, rambut yang terurai, dan aroma parfum yang memikat di hidungku. Sontak aku bergerak tiba-tiba. Sekarang kepalaku berada di lehernya, “Ahh… abang bangun, ya…”, jawabnya mendesis, ketika kulumat buat lehernya. Kedua tanganku bergerak masuk lewat bawa kaos oblongnya. Kocokan tangannya di burungku terhenti tiba-tiba, ketika tanganku meremas lembut bukit kembarnya. Sambil kuremas, aku berbisik, “Terus kocok kontol abang sayang…”, kembali kulumat lehernya dengan nafsu membara. Tangannya kembali mengocok burungku. Jari-jariku menari indah di bukit indahnya. Sesekali memilin putingnya yang mengeras. “Ahh… abang geli bang… ahh…”, desisnya. “Orang tua kita ada dimana dek?”, tanyaku pelan. Kembali kulumat lehernya. “A-Ada di rumahku bang. Se-Sedang makan malam… ahhh…”, jawabnya. Kuhentikan acaraku di bukitnya. Dengan satu gerakan kulepaskan kaosnya dari bawah, kocokan tangannya terhenti. Kupegang pundaknya. Kurebahkan dia keranjangku, kupindahkan posisiku. Kini aku berada dia atasnya. Pemandangan yang sangat memukau. Ada adikku di bawah bertelanjang dada, dengan bukit yang baru tumbuh, puting yang berwarna pink dan dengan wajah yang memerah. Kuposisikan burungku tepat di legging yang menutupi vaginanya. “Ahh…”, desisnya seraya menyilangkan kakinya di pinggangku memaksaku untuk semakin menusukkan burungku ke vaginanya. Kulihat mata adikku terpejam. Kuturunkan pelan kepalaku tepat ke bukitnya yang kanan tangan kiriku menari di bukit kirinya. Tangan adikku meremas kepalaku, menekan kepala ke bukitnya. “Ahh… abang enak banget…”, rintihnya lirih. Kulumat habis bukitnya. Kugigit mesra putingnya. Kutinggalkan bekas bekas merah di sana. Rakus, kiri dan kanan kulakukan sama persisi. Terlihat adikku menggelengkan kepalanya, kiri kanan kiri kanan diikuti desahan penuh nafsu darinya. Saat kurasa cukup bermain di bukitnya. Kulihat karya yang kuhasilkan, terlihat bekas bekas merah di sekitaran dadanya, sungguh sangat pemandangan yang sangat indah. Sisanya, aku hanya memilin milin kedua putingnya. “Ahh… ahh… abang…”, desisnya. Ketika kutusuk tusuk dan tusukkk vaginanya.
Kutahan tusukanku, kedua tanganku turun dari bukin itu, ku selipkan jariku di jariku di dalam CDnya, kutarik kebawah CD beserta leggingnya. Terpampang sudah vagina indahnya, ditumbuhi bulu-bulu halus. Vaginanya benar benar sempurna, terlihat garis lurus yang berupa pintu masuk untuk burungku. Terlihat pula cairan bening yang mengalir keluar. Kuraih bantal kecilku, kuletakkan di bawah pantatnya. Kini terpampang jelas vaginanya, siap kusantap.
Kutundukkan kepalaku, kuraih kembali bukit kembarnya, kuremas pelan, kuhisap penuh nafsu vaginanya. Sontak, kedua pahanya menjepit kepalaku, tak kupedulikan, kembali kuhisap dalam dalam, pantatnya terangkat, paha semakin menjepit kelapaku. “Ahhh… abang…”, pekiknya. Tubuhnya menegang, vaginanya berkedut kedut, kuhisap semua sperma panasnya hingga kedutan terakhir. Kuhisap semua, setelah kedutannya terhenti, pantatnya mulai turun ke bantal yang tadi kuselipakan, pahanya mulai melepas kepalaku. Sedangkan mulutku masih bermain asik di vaginanya. Kujilat jilat vaginanya hingga terlihat bersih seperti baru. Kulepaskan mulutku dari sana. Vaginanya sunggu sangat merah. Kulihat nafasnya naik turun, wajah yang memerah. Kubiarkan dia seperti itu dan ku mengenakan celanaku dan berlalu keluar meninggalkan adikku untuk membersihkan badanku. Saat ku kembali, terlihat adikku terduduk di ranjang, sepertinya menungguku. “Gimana dek? Udah enakan?”, tanyaku. “Iya bang…”, jawabnya pelan. Kucari pakaian dari dalam koperku. Ku keluarkan sepasang baju dan celana jeans. Tak lupa CD hitam ku. Tanpa mempedulikan adikku yang terduduk di ranjang, kulepaskan handuk yang melilit. Terpampang jelas burungku, tanpa sehelai benang. Sengaja aku berhadapan dengannya. “Ihh… abang”, komentarnya. Matanya tertuju pada burungku, mempengaruhi burungku, yang perlahan bangkit merasakan tatapannya. Cepat cepat kukenakan CD dan celana jeansku. Kukenakan bajuku, setelah rapi kuajak dia untuk ke atas. “Ayo dek…”, ajakku. Dengan sigap dia menggandengku, dan melangkah bersaaman ke rumahnya. Saat sampai di rumahnya. Ibu Dina, “Lama banget, dek”. “Tau ini abang, bangunnya lama, dan mandinya lama”, jawab Dina. “Tukang bohong”, batinku. Aku hanya tertawa mengiyakannya. Ibu Ani kembali menghidangkan makan malamku langsung diatas piring. “Ibuku mana bu?”, tanya piring. “Ohh… dia lagi asik mencuci piring”, jawabnya. Kembali ku beraksi di depan piring. Di saat makan Ibu Ani bertanya padaku, “Nanti kamu tidur di sini dong Di, noh kamar kakaknya Dina kosong”. Aku kaget, dan cepat cepat mengambil gelas yang berisi air putih. “Iya bang, tidur di sini saja”, tambah adikku. Aku hanya mengangguk sambil masih meminum air. Saat aku selesai makan, Ibu Ani langsung membereskan piringku, dan melenggok ke dapur, mataku tak lepas dari lenggokkan pantatnya, mengharap dapat menikmati pantat itu nanti malam di kamar ini. Saat aku sedang asik memainkan game di HP ku, tiba tiba saja adikku merebutnya dari tanganku, yasudah kubiarkan saja. Tak lama Ibuku keluar dari dapur, terlihat Ibuku menggunakan piyama panjang, dengan celana panjangnya. Rambut terurai, sangat menggunggah seleraku. Saat pandangan kami
bertemu, Ibuku langsung membuang muka, dan berlalu keluar rumah Dina. Terdengar dari luar, “Yuk yah kita pulang”, ajaknya pada Ayahku yang sedang duduk di luar bersama Ayahnya Dina. Kulihat Ibu menggandeng mesra lengan Ayahku, “Pasti Ibu sudah sangat bernafsu”, pikirku. Mereka menghilang dari pandanganku. Tak lama Ayah Dina masuk ke rumah, “Dina, tidurnya jangan malam malam loh ya…”, ucapnya pada anaknya. “Iya yah…”, jawab anaknya yang masih terfokus pada gamenya. Aku hanya tersenyum. Kuperhatikan Ayahnya masuk ke kamar tengah, “Sepertinya itu kamar Ayah dan Ibuku ini, pasti kamar Dina yang sebelah kirinya”, pikirku. Dan “Klek…”, pintu kamar itu terkunci. Aneh. Tak lama Ibu Ani keluar dari dapur dengan bagian dada yang sudah basah terkena air cucian piringnya tadi. Terlihat jelas BH biru yang cukup besar yang mengintip efek air di dadanya. Dia hanya tersenyum, aku balas dengan senyuman, ditambah dengan bibirku yang berpose seperti mengulum puting. Dia hanya tertawa dan masuk ke kamar kiri, “Loh bukannya itu kamar Dina, “pikirku. Tak lama Ibu Ani kembali keluar dari kamar itu. Dengan berpakain sangat seksi, mengenakan baju tidur yang tanpa bawahan sebatas atas pahanya. Kulihat putingnya menerewang dari balik sana, ya tanpa BH. Lama kuperhatikan dirinya, tepat saat pandangan kami bertemu, Ibu Ani hanya malah tersenyum, sepertinya dia sadar jika aku sangat terpana melihatnya. Aku balas senyumannya. Ibu Ani mendekati anaknya yang sedang asik bermain game, dan langsung merebut HPnya, “Kamu ini main mulu, gak liat jam berapa?”, ucap Ibu Ani. Dina langsung berjalan ke kamarnya dan terdengar suara pintu yang tertutup. Ibu ani sedikit menunduk dan memberikan HPnya padaku. Aku terpana melihat gunung kembarnya yang menggantung indah dalam balik sana. Lama kuperhatikan, entah kenapa kok gunung kembar itu bergerak ke kanan dan ke kiri, aneh kucoba melihat wajahnya, Ibu Ani hanya tersenyum, “Ini hapenya”, katanya lagi. Aku balas senyum dan satu tanganku yang satu meraih hape itu. Tanganku yang lain meraih gunungnya dan meremasnya. Sontak saja Ibu terkaget, tanpa mengelak, hanya menengok ke kamar anak dan suaminya, dan kembali menghadapku. Setelah kuletakkan HPku, tanganku yang satunya ikut meraih gunungnya, dan ikut meremasnya, berbarengan dengan tanganku yang lain. Terasa putingnya dari balik piyamanya, keras. “Mmmhhhhmmmm… udah dong… nanti malam aja sambung lagi…”, ucapnya merintih. Kuhentikan tanganku. Dan di berbalik menuju kamarnya, ya sekamar dengan Dina. Aku hanya terpaku tak percaya dengan kata katanya, “Masa aku harus menidurinya di sini saat suaminya nanti ada di balik dindin yang lain”, pikirku. Sudahlah yang terjadi terjadilah. Aku melangkah masuk ke kamar pojok kanan. Kututup pintu kamar dan kulepas celana jeansku. Aku memang tak biasa tidur dengan mengenakan celana panjang. Kulepas, yang tersisa hanya CDku saja yang sudah tak mampu menampung burung. Sejenak aku berkaca dan berbangga. Aku langsung terlentang. Sialnya aku tak membawa sarung, bagaimana jika malam ini dingin. Ahh sudahlah. Kupejamkan mataku dan mulai mencoba untuk tidur. Tak berapa lama, aku tersentak dan tertidur, ketika pintu kamar ini terbuka. Kulihat Ibu Ani berusaha mengunci pintu kamar ini. “Ibu…? Kukira Ibu cuman bercanda…”, ucapku. Tanpa menjawab Ibu langsung naik ke dan langsung mengambil posisi di sampingku. “Ibu ini orangnya tepati janji loh”, bisiknya pelan. “Tapi kalau ayah tau bagaimana?”, tanyaku. Tanpa menjawab Ibu langsung meraih ujung bajuku dari bawah, dan menariknya hingga terlepas, dan melemparnya entah kemana. Aku langsung rebahan, Ibu Ani mengambil posisi di atasku. Aku hanya pasrah menunggu gerakan Ibu selanjutnya.
Masih dalam posisi duduk, Ibu mulai merebahkan badannya, mempertemukan wajah kami berdua. Ibu menjulurkan lidahnya, menari nari di bibirku, sesekali dikecupnya. “Ahh… membangkitkan gairahku”, batinku. Lidah itu mulai menjalar ke seluruh wajahku. Mengelilingi wajahku, sesekali mengecup ngecupnya. Lidah itu mulai turun menuju leherku. “Ahh…”, desahku. Dijilatnya dengan lembut leherku, kembali dikecupnya. Tubuh Ibu mulai bergeser ke bawah, tiba tiba berhenti saat pantatnya bertemu tonjolan celana dalamku. Ibu tak peduli, malah mencoba menduduki tonjolan itu. Kembali Ibu memainkan lidahnya. Menari nari di puting susuku, dihisapnya. “Ahhh…”, aku hanya mengerang. Ibu benar-benar teliti memainkan lidahnya di dadaku. Lidah Ibu kembali menjalar melewati perutku dan bertemu dengan pinggiran atas CD, yang menampakkan ujung kepala burung. Lalu Ibu menjilatin ujung burungku, seraya tangannya menarik CDku, dan menampakkan burungku seutuhnya. Setelah puas menjilati ujung itu, lidah Ibu kembali menyusuri bagian pahaku. “Ehh…”, desahku kaget. “Kok cuman sebentar”, tambahku. Ibu hanya tertawa, “Hihi…”. “Sebentar apanya si sayang?”, ucap Ibu sambil tangannya meraih burungku dan duduk membelakangi. Terlihat punggung Ibu, yang masih terbungkus daster tipis itu. Terasa tangannya yang halus mulai mengelus elusku. “Ahh…”, desisku. Mataku terpejam, tanganku mengelus elus punggung itu. Terasa kocokan Ibu semakin cepat. “Ahh… Ibu Ibu…”, desahku. Ibu langsung memasukkan burungku ke dalam mulutnya. Ibu mengulumnya dengan buas. Aku hanya memejamkan mata menikmati kuluman Ibu. “Ahh… ahh… Ibu enak banget…”, desahku. Aku merasakan sesuatu bergerak di samping kepalaku. Saat aku membuka mata, aku terkejut melihat CD hitam Ibu terpampang di wajahku. “Ini kesempatanku”, gumamku. Tanpa membuka CD hitam itu, aku langsung meremas pantatnya, menekannya ke wajahku. Ibu menjerit tersentak, “Ahh…”, ucapnya. Kulumannya terlepas, berganti desahan desahan dari mulutnya ketika lidahku bermain di daerah vaginanya, di atas CDnya yang sudah basah. “Ahh… ahh…”, desahnya. Tak lama Ibu ikut membenamkan vaginanya ke wajahku. Dan mendesah panjang, “Ahhhhhhhh… Tubuhnya menegang, tangannya meremas kuat burungku, vaginanya berkedut kedut seirama pantatnya bergetar. Lahar panas pun mengalir, tertahan oleh CDnya, tetap kuhisap, dan kunikmati. Tak lama setelah getaran itu berhenti, aku pun membuka CD hitam itu, Ibu pun turut membantu. Setelah terbuka terlihat jelas, aliran sperma panas Ibu yang masih tersisa, kuemut kembali, kubersihkan seluruh permukaan vaginanya dengan lidahku. Ibu kembali mendesah dan sedikit sedikit mengelus elus burungku yang masih menegang keras. Setelah kurasa vaginanya kembali bersih, tiba tiba Ibu kembali duduk membelakangiku, tak lama berdiri dan turun dari ranjang. “Ibu mau kemana?”, tanyaku. Dia hanya diam, dan melangkah ke sebuah lemari kecil di dekat pintu kamar. Dan terlihat Ibu sedang meminum sebuah pil, dan membawa beberapa pil plus segelas air minum. Aku terduduk dan bingung. “Nih minum dulu sekalian obatnya”, kata Ibu. Tanpa bertanya aku langsung meminumnya. Dan Ibu mendorong tubuhku ke ranjang. Ibu bersiap menaiki tubuhku, digenggamnya burung diarahkannya pada lubang vaginanya. Perlahan dan sedikit erangan dari Ibu, burungku tertelan semua. “Ahhh…”, desahku merasakan pijitan pijitan lembut. Ibu berusaha membuka sendiri dastersnya. Terbuka, memperlihatkan BH hitam yang begitu seksi, yang menutupi gunung indahnya yang sudah menegang. Dalam burungku yang tertelan vagina Ibu, Ibu merebahkan dirinya, memposisikan bibirnya di sampingkan. “Ahh…”, desahku ketika gunung Ibu menekan tubuhku. “Tau apa guna pil pil yang tadi kau minum?”, tanya Ibu. Aku hanya menggeleng. “Satu pil itu akan membuat kontolmu berdiri selama tiga jam, jika dua pil berati enam jam”, kata Ibu menjelaskan. “Ehh…”, pekikku kaget. Ibu menggigit leherku. “Ahh…”, jeritku kaget. Tanganku mengelus elus punggung Ibu, mencari letak pengait BHnya ketemu dan kulepaskan. Kembali Ibu berbisik, “kamu tau sekarang jam berapa?” Aku kembali menggeleng. “Sekarang baru jam tiga pagi. Itu berarti kontolmu akan menegang dan menunjukkan keperkasaan melebihi yang sekarang”, jelasnya dengan diakhiri ketawa nafsunya. Aku terdiam tak mengerti sambil memejamkan mata menikmati lumatan Ibu di leherku. Ibu mulai bangun dan di posisi mendudukiku, vagina Ibu masih menelan burung. Lepas sudah BH hitam itu, terlihat jelas gunung Ibu menegang dengan indah, dihiasi puting besar yang keras. Ibu mulai menaik turun kan matanya sambil memejamkan matanya. Akupun mulai meremas gunungnya dan memilin putingnya yang berayun ayun seirama dengan gerakan Ibu. “Shhhhhh… ahhh… shhhhhh… ahhh…”, desah Ibu halus. Semakin lama semakin cepat tempo Ibu. Tak berapa lama, Ibu merebahkan kembali tubuhnya, dan kami berciuman ganas. Terasa vagina Ibu memijit mijit burungku, dan mengeluarkan sperma panasnya. “Ibu keluar lagi…”, pikirku. Denyutan denyutan vagina Ibu berakhir, ciuman kami terlepas, “Kontolmu benar benar enak sayang, masih keras banget”, diakhiri gigitan kecil dari Ibu. Ibu kembali duduk. Kulihat Ibu hanya berdiam dan memejamkan mata, tapi vagina Ibu terasa seperti mengemut emut liar burungku. Aneh pikirku tapi nikmat. Aku hanya memejamkan mata menikmati sensasinya. Emutan emutan liar vagina Ibu membuat burungku ingin menumpahkan spermaku. “Ahhh… Ibu… aku mau keluar”, jeritku. Ibu hanya terdiam, tapi vaginanya terasa makin ganas mengemut burungku. “Ahhh… Ibu…”, desahku. Kusemprotkan semua spermaku dalam vaginanya. Denyutan denyutan yang mengeluarkan sperma itu mulai berhenti. Kubuka mataku Ibu hanya tersenyum manis. Aku berusaha bangun, dan Ibu masih terduduk, burung yang masih keras masih tertancap di vaginanya. Ibu merangkul mesra leherku. Kucium bibirnya dengan ganas, kami berpagut dengan liar. Kumulai memutar tubuhku yang masih diduduki oleh Ibu. Kurebahkan tubuhnya ke ranjang tanpa melepas burungku di vaginanya. Ibu membuka lebar lebar kakinya, membuatku lebih leluasa untuk menusuk dalam vaginanya. Aku mulai menusuk nusukkan vaginanya. “Ahh… ahh… ahh…”, desah Ibu di setiap tusukanku. Ibu merangku leherku, tanganku meremas remas gunungnya. Tusukan terus kulakukan tanpa henti, desahan Ibu pun terdengar mengikuti tusukanku. Tak berapa lama, Ibu melepas rangkulannya, “Aku mau keluar sayang”, katanya. Kutusukkan kembali burungku. Lebih keras dan lebih dalam. Ibu menggeleng ke kanan dan ke kiri. Tangan mencengkram ranjangku, tubuhnya menggeliat geliat seperti ular. Desahannya yang panjang terdengar jelas. “Ahhhhhhhh… Ibu keluar. Kubenamkan dalam dalam burungku, menembus ke dalam nya. Dan mempertemukan sperma kami. “Aku juga keluar sayang…”, ucapku lirih. Kutumpahkan seluruh spermaku. Aku pun berbaring di sebelah Ibu. Kulepaskan burungku dan terdengar suara khas pelepasn itu. Terlihat nafas Ibu yang ngos ngosan, payudaranya naik turun. Aku terlentang dan melihat burungku, masih keras menegang, dan ukurannya kurasa lebih besar dari biasanya. Kuperhatikan Ibu tersenyum manis menikmati sisa orgasmenya, dimiringkan tubuhnya padaku, dielusnya kembali burungku, “Hehehe, burungmu makin besar ya sayang. Burungmu akan tetap seperti ini”, ucap Ibu. Dilanjutak kocokan kocokan halus. “Semua ini gara gara Ibu, Ibu harus tanggung jawab”, ucapku kuakhiri dengan menarik tubuh Ibu kembali keatas tubuhku. Ibuku mengerti, dimasukkannya kembali burungku kedalam vaginanya dengan lemas. Mbleessssss… tertelan semua. Ibu kembali merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. “Ibu udahan sayang… Ibu sudah gak kuat”, bisiknya lirih. Aku pun terdiam. Dan mengangkat kepala Ibu mempertemukan bibir kami. Kami berciuman mesra seperti suami. Lama kami berciuman, gerakan lidah Ibu terhenti. “Sepertinya Ibu tertidur”, gumamku. Kuletakkan kembali kepalanya di samping kepalaku. Kubiarkan Ibu tertidur dengan burungku yang bergerak gerak kecil di penisku. “Ahhh… Ibu… aku masih bernafsu”, bisikku di kupingnya. Tak ada respon dari Ibu. Kulihat jam menunjukkan jam lima pagi. Aku pun berusaha untuk tidur, memejamkan mataku…
Dan kuterbangun dengan keadaan masih bugil. Kulihat sekeliling Ibu sudah tak ada. Kulihat jam menunjukkan pukul enam pagi. “Ahhh… aku cuman tertidur satu jam”, gumamku. Kurasakan burungku bergerak gerak. Bentuk belum berubah, masih besar, keras dan menegang. “Ibu benar benar mengerjaiku”, pikirku. Kukenakan CDku kembali, ku atur posisi burungku agar tidak terlalu menonjol, kuatur keatas terlihat kepalanya menyembul keluar, tak seperti biasanya. “Ahh… sial… kalau begini ujungnya pasti kena celana jeansku”, gumamku. Kubongkar lemari lemari di sana untuk mencari celana pendek yang bisa ku kukenakan. Happpp ketemu. Celana bola hitam, “sepertinya ini milik sepupuku”, gumamku. Kulepas CDku, dan langsung kugunakan celana hitam itu. Celana panjang dan CDku, kugulung gulung dan kuletakkan di pintu kamar ini. Segera kukenakan kaosku dan bergegas keluar kamar. Di pintu rumah ku berpapasan dengan Ayahnya Dina, aku tersenyum dan bergegas keluar. Tampak Ayah Dina kaget melihat tonjolan hitam di celanaku. Saat sampai depan pintu rumahku, aku berpapasan dengan ayahku. “Ehh… ayah”, sapaku kaget. Ayah hanya tersenyum dan juga memperhatikan tonjolan celanaku. “Maaf Ayah, aku mau buru-buru mandi”, ucapku seraya masuk ke rumahku. Terdengar pintu rumah tertutup, dan diiringi langkah kaki Ayah. “Sepertinya Ayah mau pergi ke ladang bersama Ayahnya Dina, ini kesempatanku untuk menumpahkan dan menyalurkan hasrat seksku yang sudah di puncak”, pikirku. Kuiintip dari jendela, terlihag Ayah sudah jauh, “Ceklekk…”, kukunci pintu rumahku. Kugenggam kuncinya. Saat aku berbalik, “Ibu…”, sapa ku terkaget. Ibu terlihat cantik sekali pagi ini, dengan rambut yang terikat, piyama daster yang menutupi lekuk lekuk indah tubuh Ibu. Tak tampak BH di sana. Terlihat puting gunungnya yang tercetak jelas di balik piyama itu. Ibu hanya diam mematung. Matanya menjelajahi celana hitamku yang menonjol dan bergerak gerak, tak lama mulai bersuara, “Kenapa kamu mengunci pintunya?”. Aku hanya diam dan mendekat diriku pada Ibu. Ibu pun terdiam kembali. Jalan pelan mendekati Ibu, kuturunkan celana pendekku, mata Ibu terbelalak, melotot tajam pada burungku. Seakan tak percaya, jika itu burung yang sama dengan burungku yang kemarin. Ibupun bergerak mundur menuju pintu kamarnya. Dan menutupnya. Aku tak menyerah aku berjalan terus menuju pintu itu, kupegang gagang pintu itu. Ternya tak terkunci, terlihat Ibu masih berdiri, dengan nafas yang berat. Kututup pintu kamarnya, “Ceklekkk”, kukunci dengan kunci yang tergantung. Ibu kembali melangkah mundur menuju ranjangnya, saat terbentu ranjangnya, Ibu hanya terduduk. Aku persis di depannya, dengan burung yang berayun ayun. Kugenggam tangannya, kuarahkan pada burungku, dan berkata, ” Lihat bu? Kontolku kangen dengan memekmu?…” Tangan Ibu gemetaran mengelus burungku. “Ahhhh… Ibu… aku kangen Ibu”, desahku. Ibu terus mengelus dan mengocok pelan, kubuka daster Ibu dari bawah, Ibu hanya terdiam. Dan membaringkan tubuhnya sendiri di ranjang. Akupun tersenyum. Ku buka CDnya, Ibu hanya memejamkan matanya, dan membuka lebar lebar pahanya. Terlihat vagina Ibu yang sudah basah, dihiasi rambut hitam yang tertata rapi. Tanpa membuang waktu, kuarahkan burungku, kugesekkan di bibir vagina Ibu. Ibu hanya mendesah. “Ahhh… cepat masukkan…”, ucap Ibu. Aku pura pura tak mendengarnya dan terus menggesek gesekannya. “Cepat masukkan kontolmu… ahhh…”, ucapnya agak keras. “Masukkan kemana si bu…?”, tanyaku. Ibu hanya terdiam. Satu tanganku mengangkat daster Ibu sampai keperutnya. Dan kembali mengelus pahany. “Mmmmmhhhhmmmmm”, desahan Ibu. Ibu berusaha membuka dasternya, terpampang jelas gunungnya, gunung yang lebih besar dari kakaknya, dengan puting yang besar juga. Dengan cepat, kutangkap satu gunung. Kuremas dengan keras. “Awwww…”, Ibu menjerit. “Cepat masukan… mmmmhhhhmmmm”, pinta Ibu. “Masukkan apa si Ibu…?”, jawabku yang sedang asik menggodanya, menggesekkan burungku pada bibir vaginanya. “Kontolmu yang besar itu…”, jawabnya. “Masukkan kemana”, tanyaku lagi. Sesekali ku masukkan ujung burung sedikit, ke vaginanya. “Iya ke situ, ke memek Ibu, cepat Ibu sudah gak kuat”, jeritnya. Satu hentakan tajam. “Mblessss…” Tertancap semua, kepala Ibu mendongak keatas, “Aduhhh duhhh… Ahh… Sakit… Ahhh…”, racaunya tak jelas. Kubiarkan burungku tanpa gerakan, agar vagina Ibu terbiasa dengan ukuran yang baru dari burungku. “Memekmu kok makin sempit bu…”, bisikku di lehernya. Kulumat habis lehernya, kutandai lehernya dengan ganas. “Ahhh… kontolmu saja yang makin besar”, jawab Ibu, sambil menggigit leherku. Setelah cukup lama, kucoba gerakkan sedikiy pantatku. “Ahh… enak… sakit…”, racau Ibu yang tak jelas lagi. Kugerakkan kugerakkan semakin lama semakin cepat. “Ahhh… ahh… terus nak… terus entotin Ibumu ini…”, ucapnya. Kulepaskan lehernya, dan berpindah ke satu putingnya. Kuhisap dalam dalam, kuhisap seperti hisapan yang paling dalam kulakukan selama ini. “Ahhh… sayang… terus isap tetek Ibumu ini…”, desahnya. Kuhisap bergantian kanan dan kiri. “Ahhh… sayang… ahh…”, rintihnya. Tempo tusukkanku makin cepat, makin keras, dan makin dalam. Ibu hanya “Mmmmmhhhhmmmm…”, dan memejamkan matanya, tangannya menekan nekan kepalaku, memaksanya untuk menghisap ganaa putingnya. “Ahhhhhhhh…”, desah Ibu panjang, pantatnya terangkat menyambut tusukan burungku. “Ibu… cepat sekali kamu muncrat…”, bisikku ditelinganya. Kembali kulumat lehernya, tangan Ibu melingkariku, matanya terpejam, nafasnya begitu terasa, vaginanya sudah dibanjiri spermanya sendiri. Kubisikkan lagi, “Bagaimana bu? Sudah siap untuk ronde selanjutnya sayang?…” Ibu hanya mengangguk pelan. Kulepaskan kuluman di lehernya. Kulepaskan juga rangkulannya di leherku. Kembali kuhujani tusukan pada vagina Ibu. “Ibu… Ibu… memekmu sempit banget… ahh…”, desahku. “Kontolmu yang kegedean sayang… memekku jadi susah nampungnya…”, balasan Ibu. Desahan desahan kami bergemuruh di kamar Ibuku ini. Tanganku tak henti-hentinya meremas gunung kembar Ibu. Sedangkan tangan Ibu hanya meremas remas ranjang itu. “Sayang… memek Ibu mau muncrat lagi ini…”, pekiknya pelan. “Aku juga mau muncrat bu…”, balasku. “Keluarkan di dalam sayang… hamili Ibumu ini… ahhhh…”, desah Ibu mengerang. Satu tusukan, tusukan dalam dalam, menembus ke rahimnya. “Ahhhh…”, jerit panjang kami bersamaan. Kupegang pinggang Ibu, karna kurasakan pantat Ibi bergerak gerak liar. Kurasakan kedutan burungku di dalam kedutan kedutan vagina Ibu. Kutumpahkan semua spermaku dalam rahimnya. Kurebahkan tubuhku di atas tubuhnya, kelamin kami masih bersatu, burungku masih berdenyut denyut dalam vaginannya, belum kelihatan akan tertidur. “Memekmu enak banget bu… aku gak mau melepaskan memekmu sekarang. Aku mau ngentotinmu selamanya…”, bisikku pelan. “Iya sayang… memekku sekarang jadi milikmu… aku tak akan membiarkan kontol kecil ayahmu memasuki memekku ini sayang…”, balas Ibuku. “Janji…?”, tegasku. “Iya… sayang… memekku hanya untuk kontolmu”, balasnya. Mendengar itu, burungku bergerak gerak dalam vagina Ibu, sepertinya dia ikut senang mendengar hal itu. “Duhh… sayang… kontolmu bergerak gerak di dalam memekku… ahh…”, desah Ibu yang merasakan gerakan itu. “Iya sayang… kontolku benar-benar tak ingin keluar dari memekmu…”, jawabku. Dan kami pun berciuman dengan ganas. Setelah cukup lama dalam posisi itu…
“Tok… tok… tok… dek… dek… bangun…”, terdengar suara dari luar rumah. Ciuman kami terlepas. “Kak Ani…”, pekik halus Ibuku. “Ssstttt… diam aja bu. Aku belum mau Ibu pergi…”, bisikku pelan. Terdengar lagi, “Tok… tok… tok… dek… dek… bangun… ayo kita kepasar…” Terasa tubuh Ibu ingin bangkit, tapi dengan sigap, kutahan gerakan Ibu, dan mulai kutusukkan burung. “Ahhh…”, jerit Ibu tertahan. “Jangan… ada kakakku di luar, nanti dia tahu…”, dengan nada takut dari Ibuku. Aku tak peduli, kutancapkan lagi, dalam semakin dalam, cepat semakin cepat… “Sshhhh……”, desah Ibu. “Tok… tok… tok… dek… dek… bangun…”, terdengar lagi. Kami sudah tak peduli, mendegar suara dari luar, malah membuatku semakin bernafsu. Ibu merangkul leherku, mengarahkannya mendekati wajahnya, “Memek Ibu mau muncrat sayang…”, bisiknya halus, disusul ciuman kami yang liar. Kutusukkan dalam dalam burungku. Tubuh Ibu kembali menegang, pantatnya terangkat menerima tusukanku. Lagi… Kukeluarkan sperma ku semuanya kedalam rahim Ibu untuk bertemu dengan sperma panasnya. Kami menikmati orgasme kami dengan saling berciuman ganas. Terlepas, ciuman kami terlepas, tapi kelamin kami masih bersatu. Terdengar deru nafas Ibu. “Ibu enak banget…”, bisikku. “Iya sayang… Tapi kontolmu masih menancap di memek Ibu nih…”, jawabnya. “Iya bu…, mau entotin memekmu terus…”, jawabku sekenanya. Beberapa menit kemudian, Ibu membalik keadaan, sekarang Ibu diatas, burungku masih bersarang di vaginanya. Suara di balik pintu sudah tak terdengar. “Bagaimana kalau begini?”, ucap Ibu sambil memejamkan matanya. “Ahh… aduhhh… ahhh… Ibu…”, aku mendesah sejadi jadinya. Ibu hanya memejamkan matanya dan tersenyum tak bergerak sedikit pun. Anehnya, burungku terasa dilumat, dihisap, dipaksa masuk lebih dalam ke vaginanya. Aksi ini lebih dahsyat dari yang dilakukan adiknya. “Ahhh… Ibu…. memekmu enak banget… aku gak tahan… aku mau keluar… ahhh… Ibu…”, desahku menggila. Kuluncurkan lagi spermaku kedalam vaginanya… “Ahhh…”, desahku saat kedutan terakhir penisku. Ibu berdiri, kulihat daging dalam vagina Ibu terlihat jelas masih menempel di burungku saat Ibu berdiri melepaskannya. “Ahhh…”, jerit kami bersamaan. Ibu berjalan mengambil air minum. Dan kembali ke atas ranjang, Ibu nampak kaget melihat burungku masih bangun mengangguk angguk. “Minum dulu ya sayang…”, ucap Ibu. Diisinya setengah penuh mulutnya dan mulai mendekati bibirku, aku minum dari mulut Ibu. Setelah airnya habis, Ibu mengulangnya lagi. Sampai air di gelas itu habis. “Airnya manis banget sayang…”, ucapku sambil mengelus punggung Ibu. “Iya dong…”, jawabnya. Kini Ibu bersandar di bahuku kiriku. Tangan kiriku merangkulnya. Tangan Ibu membelai sayang burungku. “Kontolmu hebat banget ya sayang… masih tetap berdiri seperti ini”, ucapnya. Aku hanya tertawa, tangan kiriku bergerak memilin putingnya. “Nenen Ibu gede banget ya bu…”, ucapku sambil mencubit putingnya. “Tapi aneh, kok gak ada susunya ya…?”, tanyaku kebingungan. Ibu hanya tertawa, “Nanti kalau adekmu, sekaligus anakmu lahir, baru nenen Ibu ada susunya”, jawab Ibu. “Kalau ada susunya nanti aku nenen sama Ibu setiap hari ya…”, pintaku. “Terus anakmu bagaimana?”, jawab Ibu. “Kasih aja susu botol…”, jawabku. “Hahahaha…”, tawa kami bersamaan. Setelah cukup lama kami bermanja manjaan di ranjang ini, burungku kembali berontak. “Sayang, memekmu sudah siap aku entotin lagi belum?”, tanyaku. “Sudah dari tadi sayang…”, jawabnya manja. “Ayo kita ngentot lagi”, ucap kami bersamaan. Kamipun bersetubuh kembali, entah sudah berapa kali Ibuku orgasme, tak terhitung banyaknya, aku pun menumpahkan spermaku dimana, di vagina Ibu, di gunung Ibu, bahkan di dalam mulut Ibu. Benar benar puas aku di pagi hari itu. Kamar ini tercium bau sperma kami berdua. Selesai kami bersetubuh, kami berdua tertidur, aku tidur dengan memeluk Ibuku yang telanjang, perlahan burungku pun tertidur. “Ahh… akhirnya tidur juga kontol perkasa Ibu ini”, ucap Ibu yang merasakan burungku tertidur di genggamannya. Kami pun tertidur.